21.

137 22 1
                                    

Masih sore saat pesawat dari Incheon tiba di Bandara Internasional Beijing. Xinyu dan ibunya segera naik ke mobil yang dikemudikan oleh Lu Ziyu, asisten pribadi Tuan Zhou. Dari jendela mobil, Xinyu melihat pemandangan familiar yang setiap hari dia lihat saat berpergian dulu. Jalanan ramai yang sering dia kunjungi, baik dengan ayah dan ibunya, maupun dengan teman-temannya di sela waktu sebelum jadwal belajar mandiri di malam hari.

Perasaannya campur aduk saat ini, sebagian hatinya senang bisa kembali ke rumah, tapi sebagian hatinya menolak untuk merasa senang dan cenderung sedih karena meninggalkan negara ibunya. Bibirnya mendesah pelan.

“Kita pulang lebih dulu,” perintah Nyonya Lee pada orang bermarga Lu yang sedang menyetir. Mobil itu lalu melaju menuju perumahan terkenal yang ada di barat daya Beijing. “Tidak ke makam papa?” Xinyu menoleh ke arah Lee Ji-Ah.

“Tidak pantas bertemu papa tanpa menyiapkan sesembahan dan berganti pakaian, bukan?” Balas Nyonya Zhou kepada sang putri.

Mobil mereka memasuki gerbang besar berwarna hitam yang dijaga patung harimau pada kedua pilarnya. Seakan menjadi penjaga rumah. Melewati jalan panjang sebelum sampai lebih dekat ke arah rumah utama. Biasanya akan ada orang yang menyambut kedatangan pemilik rumah, tapi keadaan sudah berubah saat ini. Rumah besar itu kosong tanpa penjaga atau pembantu yang biasanya ikut meramaikan.

Mengingatkan semuanya bahwa keluarga Zhou telah kehilangan masa jayanya bersama meninggalnya Zhou Xinhan. Kedua ibu dan anak itu akhirnya memasuki rumah mereka, memakai sandal rumah punya masing-masing lalu masuk satu persatu, barang-barang mereka akan dibawakan oleh Lu Ziyu.

"Beristirahatlah, tidak baik jika kau kelelahan. Eomma akan panggil jika sudah waktunya makan malam dan minum obat mu."

"Sudah terlalu sore sekarang, kita akan pergi ke sana besok pagi, setelah eomma menyiapkan semuanya." Tambah Lee Ji-Ah saat melihat Xinyu hendak memprotes.

Mendesah pelan, Xinyu menganggukkan kepada dan menaiki tangga menuju kamar tidurnya. Tiga minggu? Dua minggu? Entahlah, sepertinya sudah lama sekali dia tidak memasuki ruangan itu. Dibukanya kamar itu perlahan, pemandangan dan beberapa ingatan mendatangi Xinyu saat itu.

Dulu, ayahnya selalu ada untuknya, baik saat dia sedang bahagia maupun saat sedih. Ayahnya menjadi orang pertama yang menjadi tempatnya bercerita. Tidak ada rahasia di antara mereka. Xinyu berjalan menuju nakas dan mengambil bingkai foto berisi dirinya dan ayahnya, saat itu siang hari di taman hiburan. Ayahnya menggendongnya di belakang dan Xinyu tersenyum sangat lebar menghadap kamera. Begitulah foto itu diambil.

Melepas sandal rumah, dirinya membaringkan tubuhnya di kasur dengan sprei berwarna kuning pucat. Tidak dipungkiri bahwa tubuhnya lelah. Berbaring miring sambil mendekap bingkai foto sang ayah, tanpa sadar dirinya tertidur setelah menangis.

Hampir pukul tujuh malam saat Lee Ji-Ah selesai memasak, dirinya naik untuk membangunkan Xinyu. Di depan kamar, sudah ada koper milik sang putri. Membawa koper itu, dibukanya kamar Xinyu. "Xin-er, bangunlah, waktunya makan malam."

Tidak ada gerakan dari arah tempat tidur, berjalan mendekat, Lee Ji-Ah merasa ada yang salah pada Xinyu. Xinyu terus bergerak dalam tidurnya, terlihat gelisah, dan berkeringat sangat banyak, padahal suhu kamar sudah disesuaikan.

Berjalan mendekati sang putri dan duduk di pinggir kasur, Lee Ji-Ah mencoba membangunkan Xinyu. Tapi seberapa keras dia memanggil, Xinyu tidak mau membuka matanya. Coba dihapusnya keringat yang membasahi wajah dan leher Xinyu, dirinya terkejut dengan suhu tubuh Xinyu yang terlampau tinggi. Takut terjadi hal berbahaya jika dibiarkan, Ji-Ah segera memanggil Ziyu yang langsung mengangkat Xinyu dan membawanya ke rumah sakit.

Di Rumah Sakit Pertama Beijing.

Setelah sampai di UGD dan menjalani pemeriksaan, diputuskan bahwa Xinyu harus menginap di rumah sakit. Demam yang diderita Xinyu akan sangat berbahaya jika sempat terjadi penundaan penanganan, untungnya Ji-Ah dan Ziyu segera melarikannya ke rumah sakit tepat waktu.

Menghela napas, Lee Ji-Ah yang duduk menemani di samping ranjang Xinyu hanya mampu berdoa untuk kesembuhan sang putri. Tidak ada yang menyangka bahwa kesehatan Xinyu akan drop begitu sampai di Cina. Mengambil tangan Xinyu yang tidak diinfus, Lee Ji-Ah berbicara kepada gadis yang masih memejamkan matanya.

"Jangan menakuti eomma lagi Xin-er, jika bukan dirimu siapa yang akan menguatkan eomma untuk bertahan di dunia ini." Sambil mengusap pelan punggung tangan pucat milik Xinyu.

"Papa akan sedih jika eomma tidak bisa menjaga mu dengan baik."

Tanpa sadar, sudut mata Xinyu yang masih terpejam mengeluarkan setetes air mata. Sepanjang malam Nyonya Zhou menemani sang putri di rumah sakit.

Pagi hari datang, ibu Xinyu segera membersihkan diri di kamar mandi yang ada di ruangan sang putri. Sudah diputuskan bahwa hari ini, dia akan mengunjungi suaminya lebih dulu, ketika Xinyu sudah membaik maka dia akan berkunjung lagi bersamanya. Dokter berkata, masih beberapa jam lagi sampai Xinyu sadar. Sehingga Ji-Ah meminta perawat untuk menemani Xinyu sebentar.

"Semuanya sudah dipersiapkan di mobil, Nyonya."

Bersama Lu Ziyu, Lee Ji-Ah duduk di mobil yang akan mengantarkan dirinya ke pemakaman sang suami. Zhou Xinhan dimakamkan di area pinggiran kota Beijing, dengan pohon-pohon yang belum tersentuh pembangunan, alasannya karena di sini juga lah kedua mertua Lee Ji-Ah beristirahat. Zhou Xinhan ingin dirinya dekat dengan orang tuanya bahkan setelah kematian.

Menaiki tangga tanah, Lee Ji-Ah berjalan dipimpin oleh Lu Ziyu. Sampai di bagian makam dengan tiga nisan berjejer, Ji-Ah berjalan menuju dua makam paling ujung. Membungkuk sebanyak tiga kali, dirinya menyapa mertuanya. "Menantu memberi salam pada ibu dan ayah." Lu Ziyu sendiri sudah berjalan kembali ke area parkir untuk memberi waktu pada Ji-Ah.

Selesai menyapa dan mendoakan mertuanya, Ji-Ah beralih pada salah satu makam yang mana adalah milik sang suami. Membungkuk sebanyak tiga kali, dirinya lalu membakar dupa dan kertas uang untuk mengantar sang suami pergi. Dirinya juga meletakkan bunga krisan di depan foto Zhou Xinhan. Tidak ada air mata di matanya, matanya seolah sudah mengering dan tidak menyisakan air mata.

"Laogong, apakah dirimu bertemu ayah dan ibu? Xinyu baik-baik saja, hanya sedikit tidak enak badan, tapi aku yakin dia akan segera membaik. Jangan mengkhawatirkannya."

"Aku? Jika berkata tidak apa-apa kau akan langsung tau jika aku berbohong. Istri mana yang tidak sedih saat ditinggal pergi suaminya, kan? Tapi tak apa, aku akan menjalankan hidupku dengan baik. Tolong jangan bersedih terlalu lama di sama. Ku harap dewa kematian mengantar mu sampai surga." Diusapnya lembut bingkai foto yang menampilkan wajah suaminya. 

"Aku pergi," ucapnya untuk kali terakhir sebelum berdiri. Gaun putihnya berkibar diterpa angin saat ia merapikan tudung yang dipakainya. Sulaman bunga peoni pada bagian bawah roknya bergerak mengikuti langkahnya.

Hampir jam makan siang ketika keduanya kembali ke rumah sakit. Saat tiba di ruangan Xinyu, Lee Ji-Ah dan Lu Ziyu yang mengikuti di belakang dibuat bingung saat mendapati banyak orang di sana. Kemudian berubah menjadi rasa khawatir saat mengetahui bahwa beberapa perawat dan dokter melakukan pemeriksaan pada Xinyu. Harusnya Xinyu sudah sadar, bukan?

"Bagaimana kondisi putri saya, dokter? Mengapa Xinyu belum sadar?" Tanyanya pada dokter yang selesai melakukan pemeriksaan.

Dokter tersebut tidak langsung menjawab, melainkan memberikan arahan terlebih dahulu pada suster yang bertugas, yang mana hal itu kurang dimengerti oleh orang awam seperti Ji-Ah dan Ziyu.

Setelah semua orang keluar, hanya tersisa Ji-Ah dan dokter di dalam ruang inap itu. Membuka suara, ucapan dokter bagai bom di siang bolong.

"Nona Xinyu mengalami kejang-kejang sesaat dan saat ini tidak ada yang tau kapan dirinya akan bangun."

Kalimat itu terngiang terus menerus berputar di pikiran Ji-Ah. Dokter telah melakukan pemeriksaan menyeluruh dan tidak ditemukan keanehan apapun, kecuali Xinyu yang tetap tidak sadarkan diri. Satu alasan yang diberikan oleh dokter itu, bahwa psikologis Xinyu lah yang membuat keadaannya seperti ini.

.
.
.
.
.

NOTES

公 (laogong) = panggilan untuk suami dalam bahasa Cina.

The Words Didn't I Say - SOXIN's TripleSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang