Dua minggu berlalu sejak kejadian pemukulan hari itu.
Mereka ditempatkan di kelas 2.3 yang berada di gedung pertama, sejauh ini keadaan mereka baik-baik saja, teman sekelas mereka sangat menyambut keduanya. Tidak jarang salah satu dari mereka memberikan pelajaran bahasa Korea kepada Xinyu di tengah jam istirahat.
Sohyun sendiri tidak selalu bersama Xinyu. Sejak jantungnya berdegup kencang, dia mengurangi interaksinya dengan gadis itu. Tapi keduanya tetap berangkat bersama.
Xinyu bukannya tidak merasakan perbedaan sikap Sohyun, dia sangat sadar. Xinyu pernah mengusulkan agar keduanya berhenti berangkat bersama, tapi Sohyun bersikeras, akhirnya hingga saat ini keduanya tetap berangkat bersama.
Adapun tentang Yujin, Sohyun tidak pernah bersinggungan dengannya, baik di kantin maupun di lapangan. Sohyun senang akan hal itu, tidak ada yang menggangu dirinya. Untuk Komite disiplin, Sohyun beberapa kali berpapasan dengan Minjeong dan Karina yang sedang melaksanakan inspeksi sepulang sekolah.
Tidak ada permusuhan di antara mereka, bahkan ketiganya menyempatkan diri untuk berbincang.
Sohyun duduk di depan ruangan tempat kelas Bahasa Korea diadakan, menunggu Xinyu keluar dari sana. Di belakangnya langit biru menjadi pemandangan menyenangkan, jika melihat ke bawah maka lapangan yang penuh dengan anak-anak yang sedang berolahraga atau melakukan kegiatan klub sekolah bisa terlihat.
Tidak ada kata sepi di SMA Jinyoung.
Jika di pagi semua murid belajar, maka di sore hari adalah waktu saat mereka mengeksplor bakat mereka melalui berbagai kegiatan klub sekolah.
Ruangan di depan Sohyun dibuka dari dalam, seorang guru paruh baya berjalan keluar lalu diikuti siswa-siswa asing. Sohyun memusatkan pandangannya mencari Xinyu.
Dia di sana, berjalan bersama seseorang.
"Aku jarang menemukan hidangan khas Cina yang autentik di sini, aku akan mampir ke kedai makanan ibumu lain kali." Orang di samping Xinyu berbicara padanya menggunakan Bahasa Cina dengan agak cepat, sangat khas.
"Kau tidak akan kecewa." Xinyu membalas.
"Baiklah, aku harus pergi ke gedung empat, mampirlah saat kau sudah memutuskan untuk bergabung dengan klub mana." Seteleh mengucapkan selamat tinggal, gadis itu pergi.
Berhenti di depan Sohyun, Xinyu bertanya apakah dia sudah menunggu lama, yang tentu saja dijawab tidak oleh Sohyun. Interaksi Xinyu dengan gadis itu tidak luput dari Sohyun, berbasa-basi sebentar dirinya lalu bertanya padanya tentang siapa dia.
"Ningning, dia juga dari Cina, kami satu meja saat kelas tadi. Dia juga mengundangku untuk bergabung dengan paduan suara, tapi aku ragu mengambilnya, aku mempertimbangkan teater untuk klub sekolah."
Sohyun hanya mengangguk mendengarkan saat kedunya berjalan di lorong.
"Bagaimana denganmu? klub mana yang kau incar." Pertanyaan itu ditujukan untuk Sohyun.
"Aku sempat memikirkan klub siaran, tapi entahlah, aku masih bingung." Jawaban tidak jelas diberikan oleh Sohyun.
Keduanya berjalan beriringan menuruni tangga sekolah, beberapa kali bersapa ria dengan teman yang mereka kenal. Bahasa Korea Xinyu sudah meningkat cukup banyak walaupun baru dua minggu belajar, kemampuannya dalam beradaptasi sangat bagus. Meskipun terkadang ada istilah-istilah yang kurang dia pahami, Sohyun akan selalu ada di sana untuk menjelaskan kepadanya.
Saat mencapai area luar gedung, Sohyun dan Xinyu tertarik dengan kerumunan yang menuju lapangan basket. Sifat manusia adalah mengikuti mayoritas, jadi kedunya berjalan menuju arah yang sama.
Lapangan basket outdor adalah tempat yang paling disukai oleh anggota klub basket milik SMA Jinyoung. Walaupun sekolah hanya menerima murid perempuan, tetapi bakat mereka tidak kalah dengan murid laki-laki. Tim basket Jinyoung selalu menduduki peringkat pertama di liga nasional basket putri. Beberapa siswa bahkan masuk ke dalam daftar pemain nasional dan mengikuti pelatihan khusus.
Alasan keramaian hari ini juga disebabkan oleh pemain andalan mereka, sekaligus kebangaan SMA Jinyoung sedang beristirahat dari pelatihan karena cedera. Dan saat ini dia sedang bermain bersama anggota tim basket lain di lapangan.
Sorakan keras terdengar dari bangku penonton, sepertinya cedera yang dialami pemain andalan mereka tidak terlalu serius, buktinya dia bahkan masih bermain lincah di lapangan, sesekali melirik ke arah bangku penonton, yang menyebabkan jeritan semakin terdengar keras.
Menjadi hal umum menjumpai pemandangan siswa saling menjalin kasih di sekolah ini. Membuktikan pihak sekolah mengikuti perkembangan jaman.
Tepat di tengah lapangan, dua orang bertanding satu lawan satu, berusaha mendapat poin sebanyak mungkin dengan memasukkan bola ke dalam ring. Dua gadis dengan tinggi yang hampir mirip saling berebut bola, melakukan dribble dan memasukkan bola dengan lompatan indah.
Bola kembali diperebutkan, salah satu gadis berkuncir kuda melakukan tembakan dari area three point, tapi sayang bola justru menjauhi ring dan datang dengan cepat ke arah kerumunan.
"Aduh."
Sungguh, Sohyun ingin menghentikan bola itu sebelum mengenai Xinyu, tapi apa daya, datangnya terlalu tiba-tiba dan begitu cepat.
Xinyu tidak tahu mengapa dia begitu sial, baru menginjakkan kaki di area penonton kepalanya sudah mendapat hantaman dari bola basket. Seharusnya mereka tidak ke sini sejak awal.
"Tak apa?"
Xinyu merasakan seseorang mengusap puncak kepalanya yang sakit akibat pukulan itu, siapa lagi jika bukan Sohyun pelakunya.
"Bagaimana mungkin baik-baik saja jika bola itu datang begitu cepat, sakit sekali." Keluhnya sembari mengerjapkan mata karena sedikit pusing.
Mata Sohyun mengikuti pergerakan bola yang bergulir liar di lapangan, hingga seseorang yang menggunakan pakaian basket hitam mengambilnya dan berjalan kembali ke lapangan.
Buru-buru Sohyun berteriak kepada orang itu, takut dia tidak mendengar, "Jeogiyo, bukankah kau harus meminta maaf kepada temanku?"
Dia melihat gadis itu berhenti melangkah, Sohyun lalu menarik Xinyu ke arah lapangan dan berhenti saat jarak antara mereka dan gadis itu sudah dekat.
"Mengapa aku harus meminta maaf, bukankah hal biasa jika bola mendarat padamu saat menonton pertandingan?" Gadis di depan mereka akhirnya mengeluarkan suara.
"Lalu apakah sopan santun tidak pernah diajarkan padamu hingga tidak mau meminta maaf saat melakukan kesalahan?" Sohyun tidak kalah garang saat membalas ucapan gadis itu. Jika ada hal berbahaya di dunia ini, maka lidah tajam Sohyun adalah salah satunya.
Xinyu yang sudah tidak merasakan sakit di kepalanya berusaha menghentikan Sohyun dari bertindak terlalu jauh. Tapi dia hanya mendapat gelengan pelan dari Sohyun, ditenangkan dengan janji bahwa dia tidak akan berbuat sembarangan kali ini.
Gadis di depan mereka tersenyum menanggapi pertanyaan Sohyun, dengan bola di tangannya dia mendekati Sohyun dan berkata sangat pelan, mungkin hanya bisa didengar oleh keduanya.
"Bukankah kau juga tidak pernah diajari sopan santun oleh orang tua mu, Nyonya Kim Seola yang terhormat itu?"
Senyum gadis di depannya sangat menyakitkan bagi mata Sohyun, senyum meremehkan, sama seperti senyum dan tatapan orang-orang di malam pesta di rumah Eunseo.
Keadaan seakan kembali ke malam pesta ulang tahun Jiyeon, saat semua orang memusatkan perhatian mereka kepada dirinya, dengan tatapan menyalahkan dan menghakimi. Menyalahkan dirinya karena membuat keributan di acara orang lain, dan menghakimi karena menjadi anak memberontak.
Sohyun membenci semua itu, benci saat semua orang menjadikan dia tontonan, membenci saat orang-orang mengatakan hal buruk untuk dia dan keluarganya.
Jika bukan karena Xinyu yang terus memanggilnya, Sohyun masih akan tenggelam dalam ingatan tidak menyenangkan. Suara kecil menyadarkan dirinya dan mengembalikan kesadarannya pada saat sekarang.
"Sohyun-ah, dia bertanya padamu."
"Ha? Bertanya apa?"
![](https://img.wattpad.com/cover/370659790-288-k307636.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Words Didn't I Say - SOXIN's TripleS
Fanfic"Aku tau orang akan datang dan pergi dalam fase hidup kita, tapi bisakah dirimu menetap dan tidak pergi?" - Zhou Xinyu "Maafkan aku, maaf sudah lancang dan berani mencintaimu. Seharusnya aku tidak membuat hubungan ini menjadi rumit." - Park Sohyun ...