GIDARA - 33

286 30 2
                                    

Sepulang sekolah, Gibran mengendarai motornya menuju rumah sakit tempat dimana Ayah Zain di rawat. Adara menjaga Ayahnya sehingga Gibran berangkat seorang diri menuju ke sana.

Sampai di rumah sakit Gibran langsung berjalan menuju ruang inap tempat Ayah Zain berada, pada saat pintu terbuka nampak Adara sedang menyuapi Ayahnya.

"Assalamualaikum." salam nya sambil menutup pintu.

"Waalaikumsalam." jawab keduanya.

Gibran berjalan menghampiri Zain dan menyalami punggung tangan nya.

"Sudah lama om tidak melihat mu." ucap Zain dengan suara lemah nya.

Gibran tersenyum tipis, "Gimana kabar om?" tanya Gibran sambil duduk di kursi dekat brankar. Sedangkan Adara duduk di brankar sambil menyuapi Zain.

"Om baik-baik saja, hanya kelelahan. Putri om terlalu posesif dengan kesehatan Ayahnya." ujar Zain tersenyum kecil.

Adara menggeleng kepalanya tak setuju, tapi ia hanya diam tak menyahut. Tangan nya masih senantiasa menyuapi Ayahnya.

"Kamu udah makan?" tanya Adara menatap Gibran.

Gibran mengangguk sekilas, ia menatap wajah pucat Zain. "Makanlah yang banyak, kesehatan om sangat berarti untuk Adara. Gibran gak mau kalo dia menangis karna tubuh om menjadi kurus." ucap Gibran dengan sedikit ledekan.

Zain melotot tak terima. "Tengil sekali bocah tengik ini." batin nya kesal.

Zain merasa semakin lama Gibran semakin terbuka, di awal pertemuan mereka saja sudah termasuk unik dan kejadian langka, Zain tak pernah menemui laki-laki terus terang seperti Gibran ini. Kebanyakan dari mereka akan memilih pergi karena sikap Zain yang memang protektif.

Namun berbeda hal nya dengan Gibran, remaja laki-laki itu mampu menyesuaikan dirinya dengan Zain, tak ayal Gibran lebih leluasa dan tidak kenal takut dengan Zain. Ayah dengan predikat super protektif dan juga arogan, akan lenyap ketika berhadapan dengan Gibran.

Tak terasa waktu begitu cepat, kini Gibran harus pergi karena ada kepentingan bersama anggota nya. Ia pun beranjak dari kursinya dan bersiap untuk pamit.

"Gibran pulang dulu. Ada rapat bersama anggota." ucap Gibran sambil menyalami punggung tangan Zain.

Adara mengangguk pelan, "Hati-hati dijalan." Pesan nya dengan senyum tipis.

Gibran tersenyum. Zain menatapnya dengan tak rela, ia belum selesai berdebat dengan pria yang berada jauh di bawah usianya. "Om belum kalah berdebat dengan mu, Gibran. Tunggu om pulang. Om akan buat kamu kalah debat." jelasnya dengan nada yang terkesan tak terima.

Gibran tersenyum miring seolah meremehkan Zain. "Masih ada hari esok, tenang aja Gibran akan buat Om tutup mulut." ejek nya tertawa pelan.

"Gibran pamit, Assalamualaikum." ucapnya sambil berjalan menuju pintu.

"Waàlaikumsalam, hati-hati Nak." pesan Zain.

Setelah Gibran pergi, Adara pun langsung menghadap Ayahnya. "Sekarang Ayah harus tidur, Adara bakal jagain Ayah disini." ucap Adara tanpa bantah.

Zain menghela nafas pelan dan mengangguk. Ia menatap pintu itu dengan tatapan sendu sebelum akhirnya Zain menutup mata menjelajahi mimpinya.

Di sebuah tempat yamg berbeda seorang wanita dengan seorang pria yang memakai pakaian serba hitam dengan mobil yang memiliki pelindung kaca tanpa tembus pandang.

"Ingat, target lo adalah dia. Jangan sampai gagal, ngerti!" tegas wanita itu.

"Siap Non, uang?" tanya pria itu.

VERSI (GIDARA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang