29.

28 5 0
                                    

Pagi hari Senin datang dengan cepat. Bumi dan Aksa bangun lebih awal dari biasanya. Udara pagi yang segar menyambut mereka saat mereka turun ke ruang makan, di mana Ny. Sinta sudah menyiapkan sarapan. Tuan Mahendra juga sudah duduk di meja, menikmati kopi paginya.

"Selamat pagi," sapa Aksa sambil tersenyum pada keluarganya.

"Selamat pagi," jawab Ny. Sinta dan Tuan Mahendra serempak. Bumi mengangguk sopan dan mengambil tempat di sebelah Aksa.

Mereka mulai sarapan dengan tenang. Sesekali terdengar suara peralatan makan yang saling beradu, namun suasana tetap hangat. Di tengah-tengah sarapan, Tuan Mahendra akhirnya membuka suara dengan serius.

"Aksa, Bumi," kata Tuan Mahendra, membuat semua orang di meja makan menoleh padanya. "Aku ingin bicara tentang hubungan kalian. Bubu kalian sudah memberitahuku, tapi aku ingin mendengar langsung dari kalian."

Aksa dan Bumi saling bertukar pandang sebelum Aksa mengangguk pelan. "Ayah, kami ingin jujur. Kami memang sepasang kekasih. Kami saling mencintai dan mendukung satu sama lain."

Tuan Mahendra menatap mereka dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku memang terkejut mendengarnya, tapi aku ingin kalian tahu bahwa aku mendukung apa pun yang membuat kalian bahagia."

Bumi merasa lega mendengar kata-kata itu. "Terima kasih, Om," kata Bumi dengan suara pelan.

"Panggil aku ayah saja Bumi. Dan yang penting kalian harus selalu menghargai dan mendukung satu sama lain. Itu yang paling utama," tambah Tuan Mahendra sambil tersenyum.

Mereka melanjutkan sarapan dengan perasaan yang lebih ringan. Setelah selesai, Aksa dan Bumi bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah. Seperti biasa, Aksa mengantar Bumi menggunakan motor.

Saat mereka tiba di depan sekolah, Aksa menatap Bumi dengan penuh perhatian. "Semoga harimu menyenangkan, Bumi. Jangan lupa makan siang."

Bumi tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih, Kak. Hati-hati di jalan, ya."

Aksa menunggu sampai Bumi masuk ke gerbang sekolah sebelum melanjutkan perjalanannya ke kampus. Di sekolah, Bumi merasa lebih tenang setelah menerima dukungan dari keluarga Aksa. Namun, saat jam pelajaran pertama dimulai, ia panik karena menyadari buku pelajarannya tertinggal di rumah.

Bumi segera mengambil ponselnya dan menelepon Aksa. "Kak, aku ketinggalan buku pelajaran Biologi. Bisa tolong antar ke sekolah?"

Aksa tersenyum lebar di ujung telepon. "Tentu saja, sayang. Aku akan segera ke sana."

Aksa bergegas pulang untuk mengambil buku Bumi dan kemudian kembali ke sekolah. Sesampainya di depan sekolah, ia melihat Bumi yang sudah menunggunya dengan cemas.

"Ini bukunya," kata Aksa sambil menyerahkan buku tersebut.

"Terima kasih, Kak. Kamu benar-benar penyelamatku," jawab Bumi dengan senyum lega.

Aksa mengusap kepala Bumi dengan lembut. "Selalu siap untuk kamu. Sekarang masuklah, jangan sampai terlambat lagi."

Bumi mengangguk dan berlari kembali ke kelas. Sementara itu, Aksa kembali ke kampus dengan perasaan puas karena bisa membantu Bumi. Di kampus, ia mencoba fokus pada pelajarannya meski pikirannya terus teringat pada Bumi.

Hari itu, Bumi berhasil menjalani sisa pelajaran dengan baik. Saat jam istirahat, ia duduk bersama teman-teman barunya dan menceritakan kejadian pagi itu.

"Jadi, Kak Aksa yang nganterin buku?" tanya Farel dengan nada kagum.

"Iya, dia selalu ada untukku," jawab Bumi sambil tersenyum.

"Hebat banget, ya. Kakak idaman banget," tambah teman lainnya.

Setelah bel pulang berbunyi, Bumi segera menuju gerbang depan sekolah. Seperti biasa, Aksa sudah menunggunya dengan senyum lebar. Momen manis terjadi saat Aksa memasangkan helm pada Bumi, dan mereka berdua mendapat perhatian dari orang-orang di sekitar.

My cousin, My boyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang