30.

52 5 0
                                    

Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kamar Aksa dan Bumi, menciptakan cahaya lembut yang menyelimuti mereka. Aksa terbangun lebih dulu, merasakan kehangatan tubuh Bumi di sampingnya. Namun, ada sesuatu yang tidak biasa. Wajah Bumi terlihat pucat dan keningnya berkeringat.

"Aduh, kenapa ini?" gumam Aksa sambil menyentuh kening Bumi dengan punggung tangannya. Kening Bumi terasa panas. Aksa langsung panik, hati-hatinya terselip kekhawatiran.

"Bumi, kamu demam," bisik Aksa pelan, khawatir untuk membangunkan Bumi. Tapi Bumi hanya mengerang pelan dalam tidurnya, terlihat tidak nyaman.

Tanpa membuang waktu, Aksa segera bangkit. Dia mengambil handuk kecil, membasahinya dengan air dingin, lalu kembali ke sisi Bumi untuk mengompres keningnya. Setelah itu, dia menuju dapur untuk memasak bubur, sesuatu yang lembut dan mudah dicerna.

Setelah beberapa saat, Aksa kembali dengan semangkuk bubur hangat. Dia membangunkan Bumi perlahan. "Sayang, bangun dulu ya. Kamu perlu makan."

Bumi membuka matanya dengan lemah, menatap Aksa dengan mata berkabut. "Kak... aku merasa nggak enak badan."

"Aku tahu, Bumi. Makanya kamu harus makan dulu, supaya bisa minum obat." Aksa membantu Bumi duduk dengan hati-hati, lalu mulai menyuapinya bubur.

Bumi makan pelan-pelan, setiap suapannya disertai dengan perhatian penuh dari Aksa. Setelah selesai makan, Aksa memberinya obat dan menidurkan kembali Bumi. Dia kemudian menulis surat sakit untuk sekolah Bumi dan mengirimkannya. Aksa juga memutuskan untuk tidak masuk kampus hari itu, memilih untuk tetap di rumah dan merawat Bumi.

Sepanjang hari, Aksa tidak pernah jauh dari sisi Bumi. Mereka berbaring bersama di tempat tidur, berpelukan sambil berbincang. Aksa merasa bersalah karena mungkin telah membuat Bumi sakit.

"Maafkan aku ya, sayang. Aku nggak seharusnya ngajak kamu ke tempat balapan semalam. Kamu jadi masuk angin deh," kata Aksa penuh penyesalan.

Bumi menggeleng lemah, tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, Kak. Aku senang kok bisa menemani kamu. Lagipula, ini cuma demam biasa. Aku akan segera pulih."

Aksa mencium kening Bumi dengan lembut. "Kamu istirahat aja, ya. Aku akan selalu di sini buat kamu."

Menjelang sore, demam Bumi mulai mereda. Aksa merasa lega dan bahagia melihat kondisi Bumi yang membaik. "Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Aksa sambil memegang tangan Bumi.

"Sudah lebih baik, Kak. Terima kasih ya sudah merawatku," jawab Bumi dengan senyum hangat.

Aksa mengelus rambut Bumi. "Aku senang kamu sudah merasa lebih baik. Bagaimana kalau kita mandi air hangat? Pasti akan membuatmu merasa lebih segar."

Bumi mengangguk setuju. "Boleh, Kak. Aku ingin mandi air hangat."

Mereka berdua kemudian menuju kamar mandi. Aksa menyiapkan air hangat untuk mandi, memastikan suhunya pas. Mereka mandi bersama, Aksa dengan penuh perhatian membasuh tubuh Bumi, memastikan dia merasa nyaman.

Setelah mandi, mereka bersiap untuk makan malam bersama keluarga Aksa. Di meja makan, Ny. Sinta dan Tuan Mahendra terlihat khawatir namun juga lega melihat Bumi sudah lebih baik.

"Bagaimana Keadaanmu sekarang, Bumi?" tanya Ny. Sinta penuh perhatian.

"Sudah lebih baik, Bu. Terima kasih," jawab Bumi dengan sopan.

Tuan Mahendra menatap Bumi dengan pandangan penuh kasih. "Syukurlah kamu sudah membaik. Jaga kesehatanmu baik-baik, ya. Jangan terlalu sering ikut Aksa ke tempat balapan."

Aksa tersenyum sambil menggenggam tangan Bumi di bawah meja. "Jangan khawatir, Ayah. Aku akan lebih berhati-hati lagi."

Makan malam berlangsung dengan hangat. Pertanyaan-pertanyaan ringan dari Ny. Sinta dan Tuan Mahendra membuat suasana semakin nyaman. Mereka merasa semakin dekat sebagai keluarga, saling mendukung satu sama lain.

Setelah makan malam, mereka kembali ke kamar. Aksa dan Bumi berbaring di ranjang, berbincang tentang banyak hal, dari impian hingga rencana masa depan mereka.

"Aku beruntung punya kamu, Bumi," bisik Aksa sambil menatap mata Bumi dalam-dalam.

Bumi tersenyum, merasa hangat di hati. "Aku juga beruntung punya kamu, Kak."

Setelah itu, Bumi merasa perlu menghubungi ibunya di rumah untuk memberi kabar. Mungkin ini yang keempat kalinya Bumi menelepon ibunya sejak dia tinggal bersama Aksa. Dia mengambil ponselnya dan menekan nomor yang sudah dihafalnya di luar kepala. Aksa duduk di sebelahnya, tersenyum hangat sambil merangkul bahunya.

“Selamat malam, Bunda,” sapa Bumi saat telepon terhubung, dan layar menampilkan wajah ibunya yang tersenyum lebar.

“Selamat malam, Bumi sayang. Aduh, anakku yang bahagia bisa tinggal bareng pacarnya,” jawab Ny. Wini dengan nada menggoda.

Bumi dan Aksa saling berpandangan, kaget sekaligus bingung. “Bunda, kok bisa tahu?” tanya Bumi dengan suara penuh rasa ingin tahu.

“Oh, jangan kaget begitu. Ny. Sinta sudah cerita semuanya padaku. Dia bilang kamu dan Aksa sangat dekat dan terlihat bahagia bersama. Ibu senang mendengarnya, Nak.”

Bumi merasa pipinya memerah. “Bunda, nggak marah?”

Ny. Wini tertawa pelan. “Kenapa Bunda harus marah? Yang penting kamu bahagia dan sehat. Aksa juga orang yang baik, Bunda percaya kamu akan dijaga dengan baik.”

Aksa yang duduk di sebelah Bumi kemudian ikut berbicara. “Terima kasih atas kepercayaan Bun, saya janji akan selalu menjaga Bumi dengan baik.”

“Bunda percaya sama kamu, Aksa. Ny. Sinta juga bilang kalau kamu anak yang bertanggung jawab. Jadi Bunda nggak khawatir,” jawab Ny. Wini dengan suara penuh kehangatan.

Setelah itu, mereka berbincang tentang banyak hal. Ny. Wini menanyakan bagaimana hari-hari Bumi di sekolah, bagaimana dia menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, dan tentang teman-teman barunya. Bumi menceritakan semuanya dengan antusias, termasuk tentang Joko, teman barunya yang tinggi dan berkulit sawo matang.

“Joko itu anak yang baik, Bun. Dia sering membantu aku kalau ada tugas yang sulit. Tapi Aksa kadang suka cemburu kalau aku cerita tentang dia,” kata Bumi sambil melirik Aksa yang tersenyum kecut.

“Bunda mengerti. Cemburu itu tandanya cinta, kan, Aksa?” ujar Ny. Wini sambil tertawa.

“Iya, Bun. Saya hanya ingin memastikan Bumi selalu aman dan bahagia,” jawab Aksa sambil menggenggam tangan Bumi erat-erat.

Pembicaraan mereka berlanjut ke topik-topik random lainnya, seperti makanan favorit Bumi yang ingin dia coba di kota baru ini, kegiatan yang dia lakukan di akhir pekan, dan rencana liburan bersama keluarga Aksa.

“Kapan-kapan kalian harus datang ke sini lagi, ya. Bunda kangen sama kalian,” kata Ny. Wini dengan nada penuh harap.

“Tentu, Bun. Nanti kalau ada waktu libur panjang, kami pasti pulang,” jawab Bumi dengan senyum lebar.

Karena sudah larut malam, percakapan itu harus diakhiri. “Bunda, kami sudah harus tidur. Besok Bumi harus sekolah pagi-pagi,” kata Aksa dengan nada lembut.

“Iya, anak-anak. Jaga kesehatan kalian dan tetaplah bahagia. Selamat malam, Bumi. Selamat malam, Aksa.”

“Selamat malam, Bunda,” jawab mereka berdua serempak sebelum telepon ditutup.

Setelah telepon ditutup, Bumi merasa lega. “Aku senang Bunda menerima kita dengan baik, Kak.”

“Ya, aku juga. Itu berarti satu kekhawatiran kita sudah hilang,” jawab Aksa sambil merangkul Bumi lebih erat.

Mereka berdua kemudian berbaring di ranjang, saling memandang dengan penuh kasih sayang. Aksa menatap Bumi dalam-dalam, merasakan betapa beruntungnya dia memiliki Bumi dalam hidupnya.

“Aku janji akan selalu ada untuk kamu, Bumi. Apa pun yang terjadi,” bisik Aksa dengan penuh kesungguhan.

Bumi tersenyum, merasa hangat dan aman di pelukan Aksa. “Aku juga, Kak. Terima kasih sudah selalu ada untukku.”

Mereka kemudian tertidur dalam pelukan satu sama lain, merasakan cinta yang semakin kuat dan tak tergoyahkan. Malam itu, mereka bermimpi tentang masa depan yang cerah bersama, penuh dengan kebahagiaan dan cinta yang abadi

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 13 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My cousin, My boyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang