Kemeja hitam polos itu begitu melekat di tubuh Jay. Berdiri menghadap cermin, Jay tersenyum puas kala melihat penampilannya pagi ini. Sekali lagi menyisir surai hitam nya, lalu Jay berjalan keluar untuk bergabung bersama Mami dan adik-adiknya. Suasana di meja makan nampak tenang, membuat Jay terkadang merindukan masa-masa remaja mereka. Masa dimana mereka akan membuat keributan dengan berebut makanan, hingga membuat Mami sampai naik pitam.
"Jay, ayo buruan sarapan, nanti kalian terlambat lho." ucap Rola, begitu melihat si sulung akhirnya turun.
"Iya, Mi." Dengan begitu, acara sarapan pagi ini berjalan dengan tenang. Tidak ada pembicaraan sama sekali, karena memang semua orang saat ini tengah berkejaran dengan waktu.
"Mi, kita berangkat dulu." Jantaka berdiri, kemudian menyalami tangan Rola. "Mami hati-hati, ya, di jalan."
"Iya Jan, lagian Mami juga di antar sama supir. Harusnya Mami yang pesan begitu ke kalian. Hati-hati, ya, Nak."
Si kembar mengangguk secara bersamaan. Memeluk Rola satu per satu, sebelum akhirnya melangkah pergi. Rola masih berdiri di tempat yang sama, menatap punggung tegap ketiga putranya. Senyum tipis di bibir wanita itu tersungging dengan manis, meskipun kedua matanya nampak berkaca-kaca.
"Mas Gamana, lihat, putra-putra kita sudah besar. Tanpa terasa, enam tahun telah berlalu dengan begitu cepat ...," gumamnya.
Langit terlihat begitu cerah. Tanpa awan, sinar terik baskara menyorot langsung ke inti bumi. Di sebuah pemakaman umum, kelima pemuda itu berdiri dalam diam—dengan pandangan mata yang tertuju pada batu nisan. Kelimanya kompak mengenakan kemeja hitam, selepas berdoa tadi, mereka masih enggan untuk beranjak pergi.
Heksa, menghela napas kemudian berkata. "Ternyata udah enam tahun. Gue selalu berpikir, bahwa itu baru terjadi kemarin."
Sosok yang berdiri di sebelahnya —Niran—ikut membuka suara. "Ternyata bener, ya, waktu berlalu dengan cepat untuk seseorang yang baru aja di tinggal. Padahal kita masih stuck di hari kemarin, tapi, dunia udah berputar sejauh ini."
Merangkul bahu sang adik, Heksa menanggapi. "Semua ini gimana cara semesta bekerja. Kita cuma pion yang ikut permainan."
"Kak, apa rencana lo setelah ini?" Sakha membuka suara untuk bertanya pada Heksa.
"Setelah tiga tahun tinggal di luar negeri, sekarang gue bakal tinggal di sini. Perusahaan Ayah butuh gue." balas Heksa. "Untuk lo bertiga gimana? Bakal balik ke sana lagi?"
"Enggak," Kali ini, Jay yang membalas. "Udah cukup ninggalin Mami selama ini, sekarang kita bertiga nggak akan pergi kemana-mana. Ini tanah kelahiran kita, dan kita juga mau hidup dan mati di sini. Setidaknya ... kita bertiga selalu ngerasa deket sama Papi."
"Bagus, deh."
"Oiya, jadi 'kan habis ini cari makan?" Menepuk tangannya yang sedikit kotor, Jantaka lantas bersuara. "Ke tempat biasa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Blue Sky
Teen FictionSebuah kisah tentang permasalahan kompleks seorang Auriga Jayendra Wardana sebagai sulung dari kedua adik kembarnya, Akhilendra Jantaka Wardana dan Alsaki Shaka Wardana. Tentang si dewasa Heksa Adhrit Mahadevan yang selalu di tuntut untuk menjadi s...