⚠️ CW/TW||kekerasan, kata-kata kasar!!!
Sakha menutup buku catatan nya, kemudian mendesis pelan sembari memijat keningnya. Penjelasan guru Sejarah di depan sana belum usai, namun telinganya tak dapat lagi menangkap suara dengan jelas. Hanya ada dengung panjang yang sesekali hadir, membuatnya tak bisa fokus lagi.
Jay yang duduk di sebelah anak itu, sontak menepuk bahu Sakha pelan. "Pusing, ya? Ke UKS aja, yuk?"
"Enggak," Sakha menarik napas panjang. "Gue mau tidur sebentar di sini. Tolong tutupin gue, Jay."
"Enak di UKS aja, ege. Malah di sini. Nanti leher lo sakit."
"Berisik, ah!" Dengan begitu, Sakha langsung merebahkan kepalanya di antara lipatan tangan. Membiarkan Jay yang kini meminta dua temannya yang duduk di depan sedikit bergeser—agar menutupi mereka berdua.
"Kenapa lagi?" Dari kursi belakang, Jantaka berbisik bertanya pada Jay.
"Pusing kayaknya. Gue suruh ke UKS, anaknya nggak mau." balas Jay, ikut berbisik.
Decakan kesal Jantaka menjadi penutup obrolan mereka. Karena biar bagaimana pun, mereka masih takut ketahuan mengobrol oleh guru paling killer di sekolah ini. Takut jika harus di hukum menghapal banyak materi yang akan membuat mereka mual.
Senin ini begitu terik sejak pagi. Jahan adalah salah satu orang yang merasakannya. Sejak tadi, tubuh nya terus berkeringat tanpa henti. "Udah panas, gerah, keringetan, eh sekarang malah belajar matematika. Coba, nikmat mana yang harus aku dustakan?" gumam anak itu.
Ternyata gumaman itu terdengar oleh Aldi—teman sebangku nya. "Iya anjir panas. Bolos aja yuk kita?"
Jahan menoleh, menatap Aldi berbinar. "Boleh, boleh!"
"Nah, gitu dong!" Kini Aldi buru-buru menutup buku catatan nya, kemudian memasukkannya ke dalam laci. "Gue pergi dulu, izin ke kamar mandi. Habis itu lo nyusul, ya?"
"Siap! Tunggu gue di tangga aja."
Setelah memberikan anggukan, Aldi beranjak maju ke depan dan meminta izin. Mungkin sekitar lima menit setelahnya, Jahan melakukan hal yang sama. Awalnya Jahan tidak di berikan izin, namun begitu melihat wajah pucat anak didiknya, sang guru akhirnya membiarkan Jahan pergi ke kamar mandi.
Bibir tipis dan pucat itu terus menyunggingkan senyuman. Lalu Jahan menghirup udara dengan rakus. Sampai pada anak tangga, melihat sosok Aldi sudah menunggu di sana. "Woi! Mau pergi kemana, nih, kita?"
Aldi berpikir sejenak, lantas menjawab. "Ke warung belakang aja, gimana? Kalau ke kantin, pasti bakal ketahuan guru yang keliling. Lo bisa panjat tembok, 'kan?"
"Bisa! Jangan meragukan aku, ya. Berantem aja aku bisa, apalagi cuma panjat tembok!"
Sebenernya bukan salah Aldi jika meragukan anak itu. Melihat bagaimana tinggi badan Jahan yang hanya sebatas dadanya, membuat Aldi sanksi. Namun ternyata, Jahan hanya tak sekadar mengatakan omong kosong. Anak itu benar-benar lincah dalam memanjat tembok—seperti kucing.
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Blue Sky
Teen FictionSebuah kisah tentang permasalahan kompleks seorang Auriga Jayendra Wardana sebagai sulung dari kedua adik kembarnya, Akhilendra Jantaka Wardana dan Alsaki Shaka Wardana. Tentang si dewasa Heksa Adhrit Mahadevan yang selalu di tuntut untuk menjadi s...