Niran menatap malas ke arah Ayah dan Bunda nya yang kini duduk berdampingan di atas sofa. Awalnya dia malas untuk pulang ke rumah ini, jika saja Ayah tidak terus menelepon nya sampai puluhan kali.
"Duduk!" Pallav bertitah dengan tatapan datar. "Mana kakak kamu itu? Kenapa nggak pulang sama dia juga?"
Mendapat pertanyaan demikian, Niran menatap heran pada keduanya. "Aku nggak tau Kakak ada di mana. Seharian ini nggak ada kabar juga. Lagian, aku sibuk sekolah sama ekstrakurikuler. Dan Kakak juga pasti lagi sibuk sama kuliah dan projek nya. Jadi, udah beberapa hari ini aku sama dia nggak ada saling kabar." katanya menjelaskan.
"Yakin kamu? Atau kamu lagi bantu dia buat bohongin kami?" Namun Pallav rupanya tidak langsung percaya. Kini justru memicing, menatap menghardik pada Niran.
"Yakin. Aku nggak bohong, aku memang nggak tau Kakak di mana." Diam sejenak, entah mengapa Niran merasa hatinya begitu gelisah. "Memang Kakak nggak datang ke kantor hari ini?"
"Kakak kamu itu bahkan nggak bisa di hubungi dari pagi." Bukan Pallav yang menjawab, melainkan Erisha. "Telepon nya mati. Pesan-pesan Bunda juga bahkan belum di baca sama sekali."
"Dan Ayah sama Bunda bisa sesantai ini?" Melihat tidak ada raut khawatir sama sekali di wajah keduanya, Niran benar-benar tidak mengerti, sebenarnya terbuat dari apa hati mereka ini?
"Kakak kamu nggak mungkin kenapa-kenapa. Tapi, dia kabur-kaburan kayak gini, sengaja bolos kelas, bahkan nggak dateng ke kantor, bikin Ayah kelimpungan. Dia udah mulai berani bertindak bodoh seperti kamu." sarkas Pallav.
Niran justru tersenyum miring. "Bagus, deh. Aku justru berharap kalau Kakak kabur yang jauh. Kalau perlu, nggak usah pulang lagi ke rumah ini."
"Niran." Mengerti tentang suasana hati suaminya, Erisha buru-buru menyela. Memperingati Niran lewat tatapan mata. "Sudah sana kamu masuk ke kamar. Kalau belum makan, makan malam dulu. Ayah sama Bunda mau berangkat ke Semarang sebentar lagi."
"Aku nggak peduli." Setelah itu, Niran membawa langkah nya menaiki anak tangga. Sebelum masuk ke dalam kamar, dia sempatkan untuk menghubungi Heksa. Bohong bila dia tidak khawatir. Tidak biasanya Heksa bahkan tidak menjawab panggilan dari Ayah dan Bunda nya.
Namun ternyata apa yang Bunda katakan memang benar. Telepon Heksa mati, tidak bisa dihubungi. Bahkan setelah dia mencoba tiga kali, hasilnya masih sama, tetap suara operator yang terdengar.
"Lo kemana, sih?" gumamnya pada diri sendiri.
Sedangkan sosok yang dikhawatirkan Niran tadi, kini tengah berdebat dan mencoba untuk membujuk Jingga, agar memperbolehkannya pulang. Sekarang sudah malam, Ayah dan Bunda pasti menunggunya pulang, Heksa tidak tenang. Meskipun dia tidak tahu apakah Ayah dan Bunda akan benar-benar menunggunya atau tidak.
"Menginap semalam dulu di sini. Keadaan kamu belum baik."
"Mas ... aku nggak bisa. Ayah sama Bunda pasti nyariin."
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Blue Sky
Ficção AdolescenteSebuah kisah tentang permasalahan kompleks seorang Auriga Jayendra Wardana sebagai sulung dari kedua adik kembarnya, Akhilendra Jantaka Wardana dan Alsaki Shaka Wardana. Tentang si dewasa Heksa Adhrit Mahadevan yang selalu di tuntut untuk menjadi s...