Hidupnya yang dulu penuh dengan warna, kini justru sebaliknya. Sejak empat bulan yang lalu, sejak dimana Samasta merasa bahwa penglihatannya semakin buruk dari hari ke hari, cowok itu telah memutuskan untuk berhenti sekolah. Bukan hanya itu, Samasta bahkan tidak pernah beranjak keluar dari rumah, apalagi dari kamar nya.
Jika tidak ada Jahan, Samasta akan mengunci diri di dalam kamar. Menghabiskan hari-hari nya dengan merenung. Setelah mencoba untuk mengakhiri semuanya malam itu, sekaligus dimana untuk pertama kalinya Jahan datang dan menangis serta memintanya untuk bertahan, Samasta berubah menjadi sosok patung yang di beri nyawa.
Semua sudah berjalan selama empat bulan ini. Dan Jahan juga paham, bahwa sosok kakak yang dulu ceria dan penuh tawa, kini sepenuhnya tidak ada lagi. Hanya ada Samasta, si sosok pendiam dengan tatapan kosong.
Mungkin Jahan juga tidak tahu, bahwa diam-diam Samasta mulai menghapal segala bentuk benda, dan juga jalan di rumah besar mereka. Meski penglihatan nya masih tersisa, itu tidak membantu banyak. Karena apa yang Samasta lihat hanya lah kekaburan, terkadang tetap harus meraba untuk menemukan jalan.
Awalnya, Samasta masih asik menyelami mimpi, sebelum terbangun karena mendengar suara yang paling dia benci. Dia tahu, ini masih cukup siang, karena adiknya sendiri belum pulang dari sekolah. Namun sosok itu sudah membuatnya muak.
"Aku pikir, dia bakal setia sama Mama. Tapi ternyata, haha, memang pantas di sebut bajingan." ucap Samasta, dengan kedua tangan yang mengepal erat. Suara-suara memuakkan itu terdengar semakin jelas seiring dengan dadanya yang juga sesak.
"Untung Jahan belum pulang. Dia nggak pantes untuk denger suara-suara ini." Bangkit, Samasta berjalan perlahan untuk menuju ke arah pintu. Meskipun harus tersandung beberapa kali. Ini yang membuat cowok itu terkadang enggan pergi kemana-mana.
"Kakak mau kemana?"
"Jahan?"
Samasta merasa jantungnya hampir jatuh saat itu juga saat mendengar suara Jahan. Tangan nya meraba, dan menemukan anak itu berdiri di depan pintu kamar nya. "Sejak kapan kamu di sini?" tanyanya dengan suara bergetar. "Jahan, jawab Kakak!"
Yang Samasta tidak tahu, bahwa Jahan sudah berada di sini sejak Papa datang bersama wanita simpanannya. Bahkan Jahan di sana, menyaksikan bagaimana Papa berjalan mengabaikan nya—seolah dia ini makhluk halus yang tak terlihat.
"Barusan." Jahan mengulas senyum, yang tidak mungkin dilihat oleh Samasta. "Hari ini pulang cepat, karena guru-guru lagi rapat. Kakak mau kemana?" Lagi, pertanyaan yang belum di jawab oleh Samasta itu Jahan lontarkan.
Nampak Samasta seperti menghela napas sebelum menjawab. "Mau ke bawah."
"Kita beli tongkat aja, yuk? Aku khawatir kalau Kakak jalan ke bawah gini. Takut kesandung sesuatu."
"Kakak belum siap, Jahan ...," Selama ini, Samasta enggan memakai tongkat untuk membantunya bergerak, karena Samasta tidak mau dunia melihatnya dengan cara yang kasihan. Dia tidak mau. "Jangan khawatir, Kakak tau apa yang harus Kakak lakuin. Lagi pula, kita udah tinggal di rumah ini dari kecil, 'kan? Jadi Kakak udah hapal seluk beluk rumah ini, meskipun nggak bisa lihat apapun."
KAMU SEDANG MEMBACA
|✔| Blue Sky
Fiksi RemajaSebuah kisah tentang permasalahan kompleks seorang Auriga Jayendra Wardana sebagai sulung dari kedua adik kembarnya, Akhilendra Jantaka Wardana dan Alsaki Shaka Wardana. Tentang si dewasa Heksa Adhrit Mahadevan yang selalu di tuntut untuk menjadi s...