28. Di Bawah Langit Biru

755 109 53
                                    

"Tinggal tunggu pesenan kita dateng, 'kan, Kak?" Niran membuka suara, begitu melihat Heksa baru saja menarik kursi dan duduk di sampingnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tinggal tunggu pesenan kita dateng, 'kan, Kak?" Niran membuka suara, begitu melihat Heksa baru saja menarik kursi dan duduk di sampingnya.

"Iya. Tapi masih agak lama, sih, kayaknya. Soalnya cafe lagi rame banget gini."

"Wajar, sih, orang-orang dateng ke sini mau makan malem sekalian," imbuh Sakha.

"Maaf, ya, gara-gara aku sama Kak Sam, jadi ngulur waktu sampe hampir malem gini." Jahan membuka suara, menatap segan pada kelima temannya yang lain.

"Ya elah, kayak apa aja, sih. Bukan salah lo, udah lah." Niran membalas, yang langsung di sambut anggukan kepala oleh Jay, Sakha, Jantaka dan Heksa. "Kita-kita paham kali, lo sama Kak Sam harus jualan dulu. Kita justru seneng, kalau jualan lo sama Kak Sam rame pembeli."

Samasta dan Jahan harus datang terlambat selama hampir satu jam, dari jam yang telah mereka janjikan. Karena biasanya, setiap pulang sekolah, Jahan akan membawa Samasta berjualan di sekitaran alun-alun. Dan kebetulan hari ini, alun-alun tengah mengadakan sebuah acara, yang membuat alun-alun semakin ramai.

"Thanks, ya, atas pengertian kalian semua." ucap Samasta, tersenyum lega karena tidak ada satu pun di antara teman-temannya yang mempermasalahkan keterlambatan dirinya dan Jahan.

"Santai," jawab Heksa, yang kini beralih menatap si kembar. "Lo bertiga katanya mau bilang sesuatu? Jadi?"

"Oh, jadi, jadi." Sejenak, Jantaka melirik ke arah Jay dan Sakha. Ketika mendapat anggukan kepala dari keduanya, dia melanjutkan. "Bulan depan, kita bertiga udah ujian kelulusan. Dan ... kita bertiga juga memutuskan buat kuliah di luar negeri."

Kalimat Jantaka barusan berhasil menyentak Heksa dan yang lainnya kecuali Jay dan Sakha. Niran membalas, "Serius, Kak? Kuliah di negeri?"

"Hmm, serius. Hal ini udah kita diskusiin sama Mami juga. Dan Mami setuju, justru seneng dengan keputusan kita bertiga. Soalnya, mendiang Papi juga punya keinginan yang sama." Suara Jantaka memelan di akhir kalimat.

Jay menepuk bahu adiknya, kemudian memilih melanjutkan kalimat Jantaka. "Berat, sih, awalnya. Karena mau nggak mau kita bertiga harus ninggalin Mami sendirian di sini. Tapi, untuk mengejar cita-cita dan masa depan, terkadang memang harus mengorbankan sesuatu yang besar, 'kan?"

"Lagian, gue, Jay, sama Jantaka ambil keputusan ini karena demi masa depan juga. Kita bertiga mau bantuin Mami, kita bertiga nggak mau Mami harus berjuang sendirian terus. Berat, tapi ini konsekuensi nya. Nggak selamanya kita bertiga bakal terus diam di zona nyaman masing-masing, tanpa tau seluas apa dunia yang sebenarnya." Sakha ikut menimpali.

Setelah mendengar penjelasan si kembar, keempat orang yang lain mulai mengerti. Memang semua yang di katakan mereka adalah kebenaran. Terkadang harus mengorbankan sesuatu untuk mencapai hal yang diinginkan. Karena hanya ada dua pilihan, bergerak maju dengan meninggalkan kenyamanan, atau justru tetap tinggal dengan konsekuensi yang tak terbayangkan.

|✔| Blue Sky Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang