21. Tiada yang Abadi

915 128 48
                                    

Bola berwarna oranye tersebut terus memantul seiring dengan gerakan cantik si penggiring

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bola berwarna oranye tersebut terus memantul seiring dengan gerakan cantik si penggiring. Setelah melakukan gerakan Lay-up dengan sempurna, seseorang itu lantas berlari ke tepi lapangan. Tepatnya menemui seseorang yang tengah melihatnya bermain.

"Keren nggak, Pi, permainan aku?"

Gamana, memberikan acungan dua ibu jarinya sebagai balasan. "Keren, dong! Anak Papi gitu, lho. Kamu nggak mau jadi atlet aja, Jay?" tanya Gamana.

Jay duduk di samping kiri Papi, meraih uluran botol minum dari laki-laki itu. Setelah meneguk air untuk membasahi tenggorokan nya, lantas Jay menjawab. "Nggak, ah. Aku anak pertama, Pi, yang harusnya gantiin Papi besok di perusahaan."

Jawaban Jay tak pernah Gamana sangka. "Kan masih ada Jantaka sama Sakha."

"No. Mereka juga punya mimpi masing-masing, Pi. Aku nggak bisa egois, dengan mengorbankan mimpi adik-adik aku. Lagian, sejauh ini, aku juga nggak punya cita-cita spesifik, kok. Alias, nggak terlalu pusing mikirin harus jadi ini, harus jadi itu. Ya, biarin semuanya berjalan apa adanya aja."

Gamana tersenyum, lalu merangkul bahu tegap sang putra. "Ini baru namanya anaknya Papi. Keren banget kamu, Jay. Makasih karena udah tumbuh jadi anak laki-laki, kakak, dan seseorang yang punya pemikiran dewasa seperti ini. Papi bangga. Bangga banget sama kamu."

Mendapat pujian terus-terusan, Jay tidak bisa menahan senyuman nya untuk mengembang. "Udah, ah, jangan di puji terus. Nanti kalau anak bungsu Papi itu denger, dia pasti cemburu, ck."

Tawa Gamana mengalun setelahnya. Melihat telinga Jay yang sedikit merah, Gamana tak lagi terus menggoda. Dia tahu, putra sulungnya ini memang mudah sekali malu. Kemudian saat langit berubah menghitam perlahan-lahan, Gamana menarik putranya masuk ke dalam. Tepatnya sebelum Rola mulai berteriak menyuruh mereka untuk masuk.

"Aku mandi dulu, Pi."

Memberikan anggukan kepala sebagai jawaban, kini Gamana membawa langkahnya mendekati si bungsu yang tengah fokus menonton televisi sendirian. Anak itu bahkan tak menoleh sedikit pun, meskipun kini Gamana memeluk nya erat.

"Papi di cuekin," kata Gamana dengan sedih.

"Papi diem, ah. Aku lagi fokus ini lho. Lagi seru."

Melirik ke arah layar televisi, sontak Gamana menghela napas panjang. "Cuma kamu doang kayaknya, Dek, yang hobby nonton si kembar botak itu."

"Mana ada?! Ini mah kartun seribu umat, ya, Pi. Semua kalangan suka, dan pasti nonton."

Merasa kalah dengan sebuah kartun, Gamana berdecak. Namun tetap tidak melepas pelukannya. "Kamu jangan banyak pikiran, ya, nanti susah tidur lagi. Lagian kamu, tuh, mikirin apa, sih, Dek? Perasaan nggak punya cicilan, nggak punya pacar juga, tapi kok kayaknya berat banget pikirannya? Sini, sini, cerita sama Papi."

|✔| Blue Sky Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang