Syaza part 53

148 5 0
                                    

"Kamu seperti penasaran sekali dengan Syaza?"

Alpa memang masih penasaran dengan Syaza. Apalagi sejak kejadian di luar negeri ia tak pernah lagi bertemu dengan wanita itu. Kabar dirinya berhenti menjadi pengasuh Nuha seperti kabar duka bagi Alpa, sebab cintanya telah kandas sebelum berlayar.

"Kamu suka sama dia?" tanya Gibran lagi. Alih-alih mendapatkan jawaban dari Alpa, sang perias ini hanya tersenyum lebar. Ia tak bisa menyembunyikan letupan api cinta terhadap Syaza di hadapan Gibran.

"Suka sekali, bos. Dia sampai memimpikan Syaza beberapa kali akhir-akhir ini," ujar Windi.

"Lantas, kamu setuju kalau mereka bersama?" Terdengar biasa saja, padahal hati Gibran sedang membara saat ini.

Menutup wajahnya karena terlalu malu, Alpa seperti orang dungu di hadapan Gibran. Sikapnya membuat Gibran semakin kesal, hatinya rasanya terbakar. Alisnya terangkat sebelah dengan bibir tergigit, "Benar, ya, apa yang dikatakan Windi, kamu tidak pernah seperti ini sebelumnya, Alpa!"

Dikenal sebagai make-up artis paling tampan sejauh ini, dengan postur tubuh tinggi tegap, pembawaan yang elegan, siapa saja tak akan percaya bahwa yang sedang tersipu malu ini adalah Alpa. Dia seketika berubah seperti orang lain ketika membahas Syaza.

"Dia ... meski bukan cinta pertama saya, saya langsung jatuh cinta padanya saat pertama kali kami bertemu. Saya rasa, saya tergila-gila padanya, bos."

Oh ini tidak bisa dibiarkan! "Tidak!" Gibran langsung bangkit dari duduknya, membuat Alpa terkejut.

Kini Windi dan Alpa sedang menghujani Gibran dengan tatapan aneh, seolah dirinya adalah orang yang tidak waras.

Kembali duduk seraya merapikan pakaiannya, "Begini, lebih baik cepat hapus rasa cintamu kepadanya. Salah satu alasan dia berhenti menjadi pengasuh Nuha karena dia telah memiliki suami."

Oh Tuhan! Semesta seakan mentertawakan Alpa, hatinya seketika hancur berkeping-keping.

"Bo ... bos ..."

"Iya. Dia tak mendapat izin dari suaminya untuk bekerja. Suaminya ingin dia menjadi ibu rumah tangga saja, atau memulai bisnis sendiri alih-alih menjadi pengasuh Nuha."

Meletakan kuas kecil pada palet make-up, Alpa merasa tak percaya dengan kabar ini, "Ayolah, bos. Jangan bercanda!"

"Aku tidak bercanda, Alpa."

"Memangnya bos tahu siapa suaminya?!"

"Tahu, aku sangat kenal dengannya. Dia ... seorang pria pekerja keras."

"Apa dia lebih tampan dari Alpa?" tanya Windi.

"Oh, jelas!" sahut Gibran.

"Lebih tinggi dari Alpa?"

Menatap Alpa dengan seksama. Gibran bahkan meminta Alpa untuk berdiri tegap demi membandingkan tinggi suami Syaza dengan Alpa.

"Hem ... sepertinya ... sama saja!" Meski sempat ragu, pada akhirnya Gibran memberikan jawaban dengan pasti.

Alpa duduk lemas di kursi, dia sejajar dengan Gibran yang juga kembali mengambil duduk, kini mereka saling menatap diri di depan cermin.

Gibran menatap wajah Alpa lebih dalam, jelas dia sedang membandingkan ketampanannya dengan Alpa. Heh, aku masih lebih tampan dari bocah tengik ini!

Sedangkan Alpa, dia juga menatap Gibran, namun bukan sedang membandingkan kadar ketampanan mereka. Ia mencari kebenaran melalui tatapan bos nya ini.

Menaikan alisnya seraya mengendikan bahu, "Aku serius," ujar Gibran.

"Bos sudah selesai dirias, saya mau keluar dulu," ujar Alpa. Sebelum pergi dari ruang make-up dia membuka kulkas dan mengambil sekaleng minuman bersoda.

"Yaahhh, kasihan sekali dia," gumam Windi.

"Kalau kasihan, hibur dia."

"Tapi ..."

"Pekerjaanmu sudah selesai, jadi susul saja dia. Jangan sampai dia gantung diri di pohon tomat karena patah hati."

Windi mengenbungkan kedua pipi, "Saya tidak tahu harus menghiburnya dengan cara apa, bos."

"Carikan dia perempuan."

"Hal itu tidak perlu bantuan saya, bos. Bukan rahasia lagi, kan, kalau dia banyak penggemarnya di belakang layar."

"Ya sudah. Berarti tidak perlu dihibur."

"Bos ... kasihan dia," ujar Windi lagi.

Seorang kru menghampiri mereka, mengatakan pada Gibran sudah waktunya untuk bekerja.

"Ck! Kalau begitu kamu saja yang jadi pacar dia. Susah sekali, sih. Cepat susul dia, ingat! Jaga dia," titah Gibran sebelum pergi dari hadapan Windi.

"Iya, bos," sahut Windi. Dia langsung melakukan apa yang Gibran katakan. Seperti kerbau dicolok hidungnya, gadis ini begitu patuh menyusul Alpa untuk sekedar menghibur hatinya.

***

Melia mengantarkan kepergian Hans dengan tatapan berembun. Pilihan Hans untuk menetap di luar negeri sejujurnya menyisakan kepedihan dalam hati Melia. Mereka kakak beradik yang saling mengasihi, saling mengisi dan saling menyayangi. Namun, teringat luka dihati Hans yang tak akan sembuh jika bertahan di tanah air, meski dengan air mata Melia tetap mendukung keputusan pedih itu.

Bagaimana dengan Syaza, apakah dia patut dipersalahkan dalam hal ini? Tidak! Melia bukan gadis bodoh yang memandang kepedihan dengan harus menjadikan seseorang sebagai kambing hitam. Lagipula, berkat Hans ke luar negeri kini dia telah memiliki Mariana. Sungguh rasa syukur menjalari hati Melia juga kedua orang tuanya.

Akan ada pelangi setelah badai, meski terbitnya tak membentuk lingkaran seperti cincin bulan, dia tetaplah pelangi yang memiliki banyak warna.

Perkataan Hans itu menambah pilu di hati Melia. Sedangkan Hans yang terluka karena cinta bersedia berbesar hati menerima keadaan, apa dia memiliki hak untuk protes pada semua yang telah terjadi?

Lambaian tangan Hans memecah lamunan Melia, sang abang tersenyum lebar. Indah sekali, senyuman itu telah lama tak Melia dapati di wajah Hans. Membalas senyuman itu dengan senyuman pula, mereka nampak seperti kakak beradik yang tak memiliki beban pada hati masing-masing.

Termenung di dalam mobil, Melia tak langsung pergi dari bandara. Memilih pemikiran yang sama seperti Adrian, kisah pilu Syaza dan Hans seketika menampar dirinya yang nyaris hanyut terbawa api cinta Zein.

Kemarin malam, dengan bodohnya ia menambahkan emoticon hati pada ujung nama Zein di kontak ponselnya. Kini segera gadis ini menghapus emoticon tersebut, "Ash! Memalukan!" gerutu Melia.

Sang ponsel ia letakkan pada kursi di sebelah, namun bersamaan dengan nyala mesin mobil, layar ponsel tersebut juga menyala.

"Aku tunggu di galeri, ya. Dua pamanku sudah berada di sana. Kita bebas menggunakan tenaga mereka sepuasnya." Itu isi pesan Syaza yang Melia terima. Tak lupa Syaza menyelipkan emoticon tersenyum lebar pada akhir pesannya.

"Ok," balas Melia juga di akhiri dengan emoticon tertawa.

Menarik napas kemudian mengembuskan pelan, Melia menepuk kedua pipi demi menetralkan degup sang jantung juga wajah yang merona. Ada Zein di sana, di galeri milik mereka.

"Ash! Katanya pengusaha, kenapa dia punya waktu luang untuk membantu kami di galeri!" Melia mengeluh.

Lagu sendu menemani perjalanan Melia menuju galeri. Gadis ini sungguh tak tahan, dia langsung mengganti lagu tersebut dengan lagu Bruno mars feat Rose.

"Heh! Seharusnya aku menyetel lagu ini sejak awal" ujar Melia.

Hatinya seketika ceria kembali, dia membelah jalanan dengan senyum yang kian mengembang.

To be continued ...

Salam anak Borneo.

Istri Untuk AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang