Kedatangan Syaza ke galeri membuat para karyawan senang, mereka tentu merindukan Syaza yang gemar mentraktir mereka.
Datang dengan beberapa kantong berisi roti dan minuman segar, Syaza langsung diserbu para karyawan.
"Syukurlah kamu sudah muncul kembali di sini. Tapi kalau boleh tahu, apa yang membuatmu memutuskan untuk datang? Tanpa mengabariku juga."
"Kemarin malam aku mendapat pencerahan dari suamiku."
Jawaban Syaza membuat Melia langsung menggodanya, "Cieee, jadi kemunculan kamu ke sini karena Gibran?"
Lekas Syaza menggelengkan kepala, "Tidak juga. Tapi ... bisa dibilang seperti itu juga." Apa-apaan Syaza ini, dia bicara tak jelas. Jika memang karena Gibran katakan saja, toh Melia hanya akan semakin meledeknya.
"Oh, jadi bukan karena Gibran? Tapi juga karena Gibran?" Lihatlah, Melia mulai menggoda sang sahabat.
Sudah lama pernikahan Syaza dan Gibran terjadi, tapi sampai detik ini wajahnya selalu saja bersemu jika digoda tentang dirinya dan sang suami. Seperti saat ini, Melia dapat melihat rona merah di wajah sang sahabat yang sedang menikmati roti. Mereka sedang berbincang di ruangan pribadi.
Syaza melemparkan gumpalan tisu yang ringan itu ke arah Melia, yang tentu saja tak akan mengenai tubuh Melia, "Berhenti menggodaku. Ingat, kamu punya banyak utang ledekan denganku. Nanti kalau kamu sudah memiliki pasangan, aku akan meledekmu seumur hidupmu!"
Sebuah ancaman yang bukannya membuat Melia takut, tapi justru terkekeh hingga pundaknya bergetar turun naik.
Bersamaan dengan niat Syaza untuk terus berkilah dari usilnya Melia, suara dentuman keras terdengar nyaring di luar sana, di jalan raya lebih tepatnya.
"Apa itu?"
"Entahlah. Ayo kita segera keluar," sahut Melia. Syaza lekas-lekas memakai kembali cadarnya dan segera menyusul Melia ke luar.
Sebuah tabrak beruntung telah terjadi, lokasinya berdekatan dengan galeri mereka.
Orang-orang langsung berkumpul, menyaksikan banyak korban yang bersimbah darah di jalanan. Mobil-mobil rusak parah, jerit kesakitan terdengar di mana-mana. Bau anyir darah membuat pusing kepala Syaza.
"Cepat hubungi 202," seru seseorang yang menyaksikan kejadian itu.
"Aku sudah menelponnya, mereka akan segera datang," sahut seseorang lagi.
Orang-orang langsung mencoba memberikan pertolongan pada para korban tabrakan itu semampunya. Para korban terluka parah, dan tidak menutup kemungkinan ada yang kehilangan nyawa. Tubuh Melia bergetar, ia hampir tumbang.
"Kita menepi saja," ujar Syaza. Ia menarik pelan lengan sang sahabat untuk sedikit menjauh dari lokasi tersebut.
Tak berapa lama terdengar bunyi ambulan, sungguh orang-orang di sana langsung merasa lega, termasuk Syaza dan Melia.
Tak hanya ambulan yang datang, para petugas 202 pun juga datang. Mereka mengenakan pakaian berwarna oren dengan rompi keamanan.
Baru kali ini Syaza melihat secara langsung para petugas 202. Mereka salah satu bagian dari pemadam kebakaran namun pada bagian kesehatan dan ambulan.
Syaza melihat sorot mata Melia tertuju pada seseorang dari anggota 202 itu, seorang pria.
"Hei! Hei! Duhai buaya betina, di saat seperti ini kamu masih sempat-sempatnya melirik mangsa," ujar Syaza sembari mengibaskan tangan di hadapan Melia.
Seperti terkontak langsung dengan Melia, pria tersebut perlahan menoleh ke arah Syaza dan Melia.
Beberapa detik dunia seorang berhenti berputar bagi Melia dan pria tersebut. Sedangkan Syaza, ia terkejut sebab sang pria menatap mereka kemudian menganggukkan kepala dan masuk ke dalam mobil.
"Mel .... kalian saling kenal?"
"Hm, dia Semesta."
"Semesta?"
"Ya, dia Semesta."
Untuk beberapa detik Syaza mengobrak-abrik pikirannya, mengingat siapa itu Semesta, sebab namanya tak asing bagi Syaza.
Dan betapa terkejutnya Syaza setelah menemukan ingatan tentang siapa itu Semesta. "Melia!! Dia cinta pertamamu itu?!"
Melia mengangguk lemas. Pertemuannya dengan Semesta membuat jantungnya berdegup kencang, dan kepergian mobil ambulan 202 itu seolah membawa pergi juga segala tenaganya.
Sungguh, ingin rasanya ia menahan kepergian Semesta, namun apalah daya ia tak kuasa.
Mengingat kisah cinta menyedihkan sang sahabat, Syaza langsung menanyakan keadaan Melia ,"Kamu baik-baik saja?"
"Tidak," ujar Melia. Ia berkata jujur pada Syaza.
"Ya sudah, kita duduk dulu di situ." Syaza menoleh ke arah kursi di atas trotoar.
"Tidak, kita kembali ke galeri saja. Aku butuh air minum."
Sesampainya di galeri, Melia seperti musafir yang baru terbebas dari gurun pasir, ia minum banyak air seolah takut air itu tak bisa lagi ia minum di lain waktu.
"Hentikan, Mel! Kamu bisa muntah!"
Melia meringis, ia tak bisa menahan diri lagi hingga akhirnya menangis. Syaza hanya bisa meraup sang sahabat ke dalam pelukan.
Definisi cinta tak harus saling memiliki, itulah yang terjadi pada kisah cinta Melia dan Semesta. Mereka bertemu saat masih duduk di bangku kelas menengah atas. Perbedaan status ekonomi membuat tuan Geraldo tak merestui hubungan mereka.
Sangat sadar dengan keadaannya yang datang dari keluarga miskin saat itu, Semesta dengan penuh kerelaan memutuskan untuk berpisah dengan Melia, meski ia sangat mencitainya.
Berita tabrakan beruntun langsung tersebar di dunia maya. Para wartawan yang selalu siap di mana adanya kabar terbaru langsung berdatangan dan meliput kejadian di lokasi. Wartawan mengatakan ada seorang wanita pemilik ruko di lokasi kejadian yang menjadi korban tabrakan tersebut. Banyak masyarakat yang menyaksikan siaran langsung yang diliput para wartawan, tak terkecuali Anton dan Adrian.
Anton langsung menghubungi Syaza, Gibran sedang berlakon di depan kamera jadi ia tak bisa langsung memberi kabar pada bosnya. Namun beberapa kali ia menelepon, tak juga diangkat oleh Syaza. Prasangka buruk mulai menghantui Anton. Terlebih ketika ia menghubungi nomor telepon galeri, karyawan di sana mengatakan bahwa Syaza berada di rumah sakit.
Betapa kesal hati Adrian, sebab Syaza tak kunjung menerima teleponnya. Sama seperti Anton, rasa khawatir langsung menghantui dirinya.
Adrian pun sama terkejutnya dengan Anton saat menerima kabar dari karyawan bahwa Syaza ada di rumah sakit. Namun, Adrian tak seperti Anton yang langsung memutus panggilan sebelum sang karyawan selesai bicara.
Melia adalah wanita berhati lembut, suka menolong sesama. Ia merupakan anggota dari sebuah grup pendonor darah, dan kejadian tabrakan tadi membuat para korban kehilangan banyak darah. Pemberitahuan di grup menarik perhatian Melia, sekarang darahnya sangat dibutuhkan para korban.
Syaza tentu tak ingin melewatkan kesempatan ini, ia juga berniat mendonorkan darah untuk pasien yang memerlukan darahnya. Tanpa berpikir panjang dua wanita ini langsung pergi ke rumah sakit.
Dunia seolah runtuh, saat Gibran mendapat kabar bahwa Syaza di rumah sakit. Menurut ucapan sang wartawan yang melakukan siaran langsung di tempat kejadian tadi, bahwa ada seorang wanita pemilik ruko di sana yang menjadi korban. Ditambah Syaza yang tak bisa dihubungi, sontak membuat Gibran langsung meninggalkan lokasi syuting.
Benar saja, ada korban yang memiliki golongan darah sama seperti Syaza. Dengan senang hati Syaza hendak mendonorkan darahnya pada sang korban.
Namun, sebuah kejutan kembali membuat jantung Syaza berdetak hebat.
"Maaf, nona. Anda tidak bisa mendonorkan darah, sebab anda sedang mengandung."
"Hah!"
To be continued ....
Salam anak Borneo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Untuk Ayah
RomansaSyaza, seorang guru TK yang sedang berjuang untuk bertahan hidup. Sejak kehilangan kedua orang tuanya, dia hanya memiliki seorang paman saja sebagai tempat bersandar. Keinginan hati menganggap sang paman adalah orang yang dapat diandalkan, namun say...