"Gibran ... aku hamil."
Bukan tak ingin memiliki keturunan, tapi kabar kehamilan dirinya membuat Syaza sangat terkejut. Hari itu hanya Melia yang mendonorkan darah, sedangkan dirinya tidak.
Usai menghubungi Gibran, Syaza masih termangu duduk pada kursi di lorong rumah sakit. Berbeda dengan dirinya yang nampak lesu, Melia begitu ceria. Berkali-kali ia mengatakan betapa tak sabar dirinya menunggu kehadiran buah hati Syaza dan Gibran. Ia bahkan sudah membayangkan bocah kecil itu memanggilnya dengan sebutan aunty.
Karena ada urusan yang lain, Melia pergi lebih dulu dari rumah sakit. Tentu awalnya ia tak tega meninggalkan Syaza sendirian di sana, namun Syaza meyakinkan dirinya untuk segera pergi saja, sebab Gibran sudah dalam perjalanan.
Gibran meninggalkan lokasi syuting dengan masih mengenakan seragam prajurit negara. Ya, kali ini ia berperan sebagai seorang angkatan darat.
Wajahnya yang sudah wara-wiri di layar kaca, membuat kedatangan Gibran menarik perhatian orang banyak. Karena tergesa-gesa, ia tak sadar datang tanpa mengenakan masker.
"Sayang." Kehadiran Gibran menarik Syaza dari lamunan.
Wanita itu nampak lesu, dan Gibran sangat tahu betapa kalut pikiran sang istri saat ini. Keresahan itu pasti tengah mencekik pikiran Syaza, maka Gibran segera mengatakan bahwa mereka akan segera mengadakan perayaan pernikahan.
"Tapi, kontrak kerjamu belum berakhir."
"Aku tak peduli. Tak ada yang lebih penting dari kamu dan anak kita."
Sungguh, Syaza rasanya ingin merangsek dalam pelukan Gibran dan menumpahkan tangis yang sejak tadi ia tahan.
Bisik-bisik orang yang berlalu lalang menahan keinginan Syaza, ia baru menyadari kedatangan sang suami tanpa mengenakan masker. Juga tanpa didampingi Anton. Kemana pria satu itu?
Karena kepergian mendadak Gibran, Anton harus menyelesaikan beberapa pekerjaan.
"Turunkan topimu, ada banyak orang di sini," ujar Syaza.
Menyadari penampilannya secara nyata, Gibran meraih saku celana dan mendapatkan maskernya. Ia sudah terbiasa waspada dan selalu membawa benda penutup wajah itu, namun kabar kehamilan sang istri membuat perasaannya campur aduk, antara sedih dan bahagia.
Namun dalam perjalanan menuju rumah sakit, Gibran sudah memastikan bahwa apapun yang terjadi, perayaan pernikahan mereka akan segera dilaksanakan secepatnya.
Mengingat sang istri yang telah dikatakan sedang mengandung, di sepanjang perjalanan mereka kembali ke rumah Gibran selalu bertanya apakah ada sesuatu yang hendak Syaza makan. Sang istri tak ingin makan apa-apa, sebab memang Syaza merasa tubuhnya seperti biasa saja.
Kali ini mereka pulang ke kediaman Gibran. Betapa senang hati Nuha, mengetahui kepulangan orang tuanya ke kediaman yang lama, gadis kecil itu langsung menyusul.
Nuha rindu kamarnya di kediaman lama, Nuha rindu suasana rumah yang lama, namun demi bisa tinggal bersama Syaza ia rela tinggal ke sana dan kemari.
Perlakuan Gibran yang memegangi Syaza saat menaiki anak tangga, dirasa sangat berlebihan bagi wanita ini.
"Aku bisa sendiri."
"Kamu sedang hamil, harus hati-hati menaiki tangga."
"Iya, aku tahu. Tapi aku baik-baik saja."
"Aku tidak yakin, sayang," ujar Gibran lagi.
"Aku baik-baik saja, aku bukan seorang pesakitan yang sekarat."
Sekarat ... Akh! Gibran sangat tidak suka dengan kata itu.
Gibran mengurung Syaza dengan kedua tangan hingga istri kecilnya itu terdorong ke tepi tangga, "Jangan katakan kata itu lagi, aku tidak suka."
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Untuk Ayah
RomantikSyaza, seorang guru TK yang sedang berjuang untuk bertahan hidup. Sejak kehilangan kedua orang tuanya, dia hanya memiliki seorang paman saja sebagai tempat bersandar. Keinginan hati menganggap sang paman adalah orang yang dapat diandalkan, namun say...