04. Terbukti

95 6 0
                                    

Yuna tak menyangka dirinya akan berakhir di ruang interogasi sebagai terduga pelaku! Ini keterlaluan, Yuna tak bisa menerima situasi ini. Bahkan, dia tidak dijadikan saksi terlebih dahulu melainkan terduga pelaku.

Belum lagi, dia benar-benar gelisah karena terus memikirkan bagaimana keadaan Meira. Apa lagi kedua orang tua mereka sedang pergi keluar kota, sementara dirinya terjebak di ruangan ini dengan tangan diborgol, baju penuh noda darah, dan sendirian.

Entah sudah berapa jam dirinya terjebak di sini sambil terus bertanya-tanya, bagaimana kondisi Meira sekarang? Apakah dia selamat? Atau sebaliknya.

"Bukannya dia kakaknya Mbak Meira? Kok Pak Tama nangkep dia, ya?" bisik Rega yang sejak tadi memerhatikan Yuna dari balik kaca dua arah. Di mana ruangan khusus penyidik dibatasi kaca dua arah dengan ruangan interogasi. Mereka bisa melihat ke dalam ruang interogasi, sementara siapa pun orang di ruang interogasi tak bisa melihat ke dalam ruang penyidik.

"Dalam kasus pidana semua orang bisa aja tersangkanya, Ga. Lo kaya gak tahu aja, orang terdekat itu yang harus dicurigai pertama kali. Apa lagi ini ... Dia ada di TKP," ucap Kunto. Sementara Maya hanya diam sambil memerhatikan gerak-gerik Yuna di dalam ruang interogasi seorang diri.

"Tapi aneh banget gak sih? Dia kan seorang pengacara terkenal, cerdas, kenapa juga ngelakuin hal kriminal kaya begini?"

"Denger-denger dia juga selalu berseberangan sama jaksa Meira di pengadilan. Mereka kaya bener-bener bertarung setiap kali berada di kasus yang sama," ucap Kunto.

"May, kok lo diem aja sih? Lo kan udah nyari tahu profil lengkapnya si Yuna. Menurut lo gimana?" tanya Rega.

"Semua bukti untuk sementara ini mengarah ke dia. Tapi menurut gue dia gak cukup punya motif ..." Maya segera menghentikan kalimatnya saat Tama akhirnya masuk ke ruang penyidik.

"Gimana udah di siapin semua?" tanya Tama sambil menaruh semua barang bukti yang sudah dia periksa ke dalam sebuah kotak.

"Sudah, Pak."

"Kalian udah amati dia dari tadi? Ada yang mencurigakan? Tanda-tanda gelisah atau gugup?" tanya Tama.

"Saya gak melihat ada tanda-tanda gugup atau gelisah selama berjam-jam dia di sana. Eskpresinya datar, pandangannya kosong, kadang dia juga menangis," jawab Maya.

Tama mengangguk sambil membaca kertas-kertas yang diberikan oleh anggotanya ini.

"Simpen bukti-bukti itu, begitu saya bilang bawa buktinya, kalian bawa ke sana. Oke?"

Mereka bertiga mengangguk, kemudian baru saja Tama hendak keluar, tiba-tiba Bagaskara masuk ke ruang penyidik bersama dua anggota penyidik lain yang Tama rasa dari pihak kejaksaan.

"Tama, mulai sekarang kasus ini akan dilimpahkan ke unit lain dan tim penyidik dari kejaksaan. Jadi, tolong kamu berikan semua berkas-berkas dan buktinya."

"Kejaksaan? Bang, penyelidikan aja belum selesai. Kok bisa kasus ini udah dilimpahkan ke kejaksaan?" protes Tama tak terima. Bukan karena kasus ini harus diambil alih, melainkan dirinya saja belum yakin bahwa orang yang dia tangkap itu adalah betul-betul tersangkanya.

"Bukti di TKP sudah lengkap, kita juga sudah punya saksi. Semuanya sudah sesuai. Kita tinggal minta pernyataan dari tersangka aja," jawab Inggit, salah satu jaksa yang mewakili kejaksaan.

"Saksi? Kita gak menemukan saksi di TKP sebelumnya," ucap Kunto dengan yakin.

"Saksi di persidangan di hari yang sama sebelum Meira terbunuh."

Tama menghela napas panjang, kemudian mendekati atasannya itu.

"Penyelidikan ini belum selesai, Bang. Saya serius, kita harus hati-hati menetapkan tersangka. Hasil labfor soal senjata yang digunakan pelaku juga belum keluar," bisik Tama berusaha memperingati atasannya.

Lawless PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang