Inggit keluar dari ruang interogasi sambil memijat keningnya, menahan kesal yang rasanya sudah naik di kepalanya.
Bahkan, dia enggan menegakkan kepalanya untuk berjalan di depan para anggota tim Tama. Dia benar-benar gegabah dalam kasus ini. Dan sekarang, dirinya langsung dipanggil oleh atasannya di kantor kejaksaan.
Menggunakan mobilnya, Inggit dan tim dari kejaksaan akhirnya sampai di kantor. Dia sebagai penanggung jawab pun segera menghampiri atasannya untuk menjelaskan ini semua.
Seorang laki-laki bertubuh tambun, dengan beberapa helai rambut berwarna putih, dan berkacamata kotak yang saat ini duduk di sofa empuknya itu membanting berkas laporan yang diberikan Inggit di atas meja. Bibirnya menunjukkan setengah tersenyum, sementara matanya menatap teh yang ada di cangkirnya.
"Inggit ... Inggit. Untung masalah ini belum diketahui media. Kalau iya, bisa malu kamu," ucap Ferry dengan tenang, lalu dia menyeruput tehnya.
"Maaf, Pak. Tapi semua bukti sudah tertuju pada dia, Pak."
"Karena semua bukti mengarah pada pengacara itu, kamu tergesa-gesa untuk mengambil kasusnya. Kamu merasa ini kesempatan emas untuk kamu membalas pengacara yang selalu mengalahkan kamu dan Meira di persidangan itu."
"Bukan begitu, Pak. Saya ... Merasa kasus ini sudah jelas. Dan mengingat kecerdikan pengacara itu, saya khawatir jika kasus ini tidak segera diselesaikan, maka dia akan lolos," jawab Inggit berusaha membela harga dirinya. Namun atasannya itu hanya menghela napas panjang sambil menatap Inggit.
"Kamu tahu kenapa jarang sekali ada perempuan yang menjadi hakim? Karena perempuan selalu menggunakan emosionalnya, perasaannya, dan mudah sekali panik. Ini penilaian yang subyektif sebenarnya, tapi kebanyakan yang saya lihat begini," ucap Ferry pelan. Sementara Inggit tak mampu membantah kalimat itu sehingga dirinya hanya diam sambil menunduk.
"Sekarang, apa rencana kamu?" tanya Ferry.
"Saya akan membuat penyelidikan ulang dengan kepolisian, Pak."
"Lalu bagaimana dengan pengacara yang kalian tuduh itu? Kamu yakin dia gak akan menuntut balik kalian?" tanya Ferry yang lagi-lagi membuat Inggit terdiam. Itulah hal yang menjadi sebuah tamparan bagi Inggit. Terdengar jelas dari cara atasannya bicara, bahwa dia tak ingin ikut campur jika Yuna balik menuntut mereka.
***
Yuna segera keluar dari mobil Tama begitu berhenti di parkiran RSUD Cipto. Dia berlarian ke dalam rumah sakit tersebut, sementara Tama terpaksa harus menyusulnya dengan ikut berlari.
Begitu mendapat informasi ruang jenazah, Yuna segera berbelok menuju lorong yang ditunjukkan oleh staf rumah sakit. Begitu dirinya sampai di depan ruang jenazah, langkahnya seketika berhenti ketika melihat kedua orang tuanya ternyata sudah pulang dan sedang menangis di depan ruang jenazah bersama keluarga besar mereka.
"Buat apa kamu ke sini? Hah?" bentak seorang laki-laki bertubuh gempal yang merupakan paman Yuna.
"Ma, Pa," panggil Yuna kepada kedua orang tuanya yang hanya diam memandangnya. Lalu, keduanya membuang wajah mereka dari Yuna dan membelakanginya.
"Aku mau lihat Mei," tukas Yuna sambil mendorong pamannya yang menghalanginya.
"Kamu gak berhak! Kamu bahkan bukan anggota keluarga kami! Kamu cuma anak pungut, Yuna. Mas Darmawan sama Mbak Hani terlalu baik aja merawat kamu dari keluarga kamu yang mati semua itu! Dasar anak gak tahu diri!" tukas seorang perempuan dengan rambut hitamnya yang digelung. Dia adalah bibi Yuna.
"Apa? Ma-maksudnya? Keluarga aku mati semua? Tante ... Aku tahu kalian marah sama aku, tapi ... Keluarga aku maksudnya apa?" tanya Yuna sambil melemparkan pandangannya ke arah kedua orang tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lawless Partner
RomanceBagaimana jadinya jika seorang pengacara yang skeptis dengan kinerja kepolisian harus bekerja sama dengan anggota kepolisian itu sendiri? Kasus kematian adiknya, membuat Yuna menjadi saksi hidup seorang pembunuh berantai yang sejak lama diincar ole...