14. Lady Red: Bukan Netizen Biasa

100 12 0
                                    

Marisa termenung di mejanya sambil menatap layar laptopnya, sesekali dia melirik ke arah berkas-berkas kasus pembunuhan Nayla yang menjadi catatan memalukan untuknya. Kasus pertama di kota yang baru saja dia datangi.

Dia menyambar berkas-berkas itu, kemudian melemparnya ke dalam kotak berisi tumpukan dokumen bekas.

Pintu ruangannya diketuk, dan Marisa segera menutup laptopnya. Seorang perempuan bersetelan kemeja, dengan rambut hitam yang dikuncir satu dan berkacamata masuk ke ruangan tersebut.

"Bu Marisa, sudah ditunggu di ruang penyidik," ujar perempuan bernama Kania itu.

"Ada kasus lagi?"

"Enggak. Ini kasus pembunuhan di apartemen yang kemarin, Bu."

Marisa membulatkan matanya, lalu melirik berkas yang tadi sudah dibuangnya itu ke kotak.

"Oh ... Itu. Emang udah ada bukti baru?" tanya Marisa berusaha untuk meraih berkas itu sebelum terlihat oleh anggota timnya ini.

"Sudah, Bu. Pak Tama dan timnya membawa beberapa bukti baru," jawab Kania.

Ponsel Marisa berdering tanda panggilan telepon. Di layarnya, terlihat kontak yang menghubunginya dinamai 'K'. Lagi-lagi Marisa mengubah menjadi mode hening dan mengabaikannya. Dia beranjak dari kursi sambil membawa berkas itu berjalan keluar ruangan bersama Kania.

Di ruang penyidik, kini ada sudah berkumpul 3 orang tim kejaksaan dan tim Tama untuk mendiskusikan kelanjutan kasus ini.

"Dimas Ardityo dan korban sudah menjalin hubungan sejak SMA. Menurut beberapa saksi, Dimas dan korban berakhir setelah wisuda, karena orang tua korban sudah menjodohkan korban dengan Bara Fadlika. Menurut keterangan orang tua korban, mereka memang sudah tidak menyukai Dimas sejak awal berpacaran," jelas Tama sambil menunjuk ke arah foto Dimas.

"Dimas Ardityo, itu kaya familar, ya?" tanya Kania pelan.

"Dia anak bungsu dari Hari Purnomo. Ketum salah satu partai politik terbesar," jawab Maya. Kania pun mengangguk, karena dia cukup kenal nama Hari Purnomo.

"Lo yakin mau nyeret-nyeret ini anak ke kasus? Kayanya mau bener gak bener, kita bakal kena masalah," ucap Ardhi, salah satu tim kejaksaan. Mendengar itu, jujur saja Tama sudah sangat muak dan memilih untuk mengabaikan.

"Sejak kapan hukum bisa milih mau mengadili siapa?" sindir Marisa yang sukses menarik perhatian semua peserta rapat di sini.

"Peradilan di negeri ini berdiri sendiri, gak terikat dengan pihak manapun. Presiden aja gak bisa mempengaruhi, apa lagi cuma anak ketum partai politik?" imbuh Marisa seketika membuat Rega tak bisa berkedip dengan mulut yang menganga hingga Kunto harus menekan dagunya agar mulut itu bisa tertutup.

"Bu Jaksa ... Kamu kan baru banget di sini. Kamu gak ngerti gimana liciknya mereka -"

"Saya lahir di sini, belajar hukum juga di sini. Dan bagi saya, semua orang itu sama di hadapan hukum."

"Udah, udah. Gak perlu berdebat yang gak berhubungan dengan kasus. Kita bener-bener harus gerak cepet. Saya udah punya bukti-bukti kalau pelakunya adalah dia," ucap Tama sambil menunjuk ke arah foto Dimas. Sementara Rega memberikan bukti-bukti yang dibawanya itu ke hadapan para jaksa penyidik.

"Oke, kalau begini kita bisa langsung bikin surat penangkapan, kan?" ucap Marisa.

"Masalahnya ... Dimas gak pulang ke rumahnya sejak satu minggu lalu," ucap Maya melaporkan.

"Artinya, kira-kira sejak hari pembunuhan terjadi," ucap Kania.

"Kalau gitu, tim penyidik dari kepolisian mulai melakukan pencarian, kita yang akan siapin berkas-berkas perkaranya," ucap Ardhi memutuskan.

Lawless PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang