Yuna masih menggerutu pelan. Saat ini pikirannya terganggu dengan fakta yang baru saja dia lihat barusan. Tama masuk ke unit apartemen di sebelahnya.
Sudah 2 tahun Yuna tinggal di gedung apartemen ini, tapi dia tak pernah tahu tetangganya adalah seorang polisi? Yuna jadi mulai berpikiran buruk, jangan-jangan Tama sengaja menyewa unit apartemen di sebelahnya untuk terus membuntutinya.
Tak mau pikirannya terus terganggu, saat itu juga Yuna memutuskan untuk keluar dan berdiri di depan pintu unit apartemen Tama, lalu menekan belnya.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya pintu itu terbuka. Baru saja Tama hendak menanyakan ada keperluan apa, Yuna sudah lebih dulu menyerobot masuk ke dalam.
"Siapa yang ngizinin kamu masuk? Kamu kan seorang pengacara, harusnya tahu ada pasal yang mengatur tentang masuk ke rumah orang tanpa izin."
Yuna menghembuskan napas lega ketika melihat barang-barang yang ada di dalam unit ini ternyata terlihat normal. Dia pikir, di dalam sini tidak ada furnitur, foto-foto, rak buku, atau semacamnya, karena kemungkinan Tama hanya menyewa unit ini untuk membuntutinya.
"Saya minta maaf. Saya sudah memastikan kalau kamu benar-benar tinggal di unit ini. Bukan untuk mengawasi saya," ucap Yuna pelan, kemudian dia berjalan menuju pintu keluar.
"Semoga kita gak bertemu lagi," ucap Tama.
Yuna mengurungkan niatnya membuka pintu, karena tiba-tiba teringat kalimat yang pernah ditulisnya untuk Tama setelah diberikan tumpangan tempo hari.
"Saya hampir ketawa bacanya, karena itu hal yang agak mustahil mengingat kita tinggal sebelahan. Tapi, saya ngerasa terlalu mual lihat tanda bibir di kertas itu sampe gak bisa ketawa sama sekali," imbuh Tama menatap punggung Yuna yang ia yakin sedang berdiri tegang setelah mendengar kalimatnya.
Yuna menahan napasnya, lalu dia berbalik dengan senyum yang dipaksakan sehingga terlihat jelas kekakuannya.
"Pertama, saya sama sekali gak sadar kamu tetangga saya. Karena jarang di apartemen, dan saya yakin kamu juga lebih banyak di kantor. Kedua, tanda bibir itu ..." Yuna berusaha mengulur waktu dengan tertawa kaku dan mengibaskan tangannya.
"... Jangan salah paham. Itu ejekan dari saya," imbuh Yuna kembali tertawa. Sayangnya, Tama sama sekali tak tertawa, bahkan dia tak merespon jawaban konyol itu.
"Sekarang, bisa kamu keluar dari apartemen saya? Atau perlu saya seret keluar?" tanya Tama.
"Kalau gitu, bisa kamu berhenti mengawasi saya tanpa izin?"
"Kalau itu saya gak bisa."
Yuna menggigit bibirnya kesal, kemudian kembali berdiri menghadap Tama dengan berani.
"Saya gak tahu kamu bener-bener berusaha melindungi saya atau kamu malah curiga kalau saya -"
"Saya bener-bener berusaha melindungi kamu," sergah Tama sebelum Yuna kembali pada pendapatnya yang melebar ke mana-mana.
Sekali lagi, Yuna menghembuskan napas panjang. Dia tak tahu jika percakapan ini akan cukup panjang. Namun, mumpung mereka membicarakan ini, Yuna akan mengatakan dengan tegas.
"Kalau korban Anonymous yang hidup saat ini ada puluhan orang, apa kamu berniat melindungi mereka semua?" tanya Yuna.
Tama terdiam, kedua matanya tak lepas memandang Yuna dengan kedua mata bening itu. Sama persis dengan mata bening yang begitu sayu dari anak berusia 8 tahun yang fotonya sempat masuk berita harian kota 20 tahun lalu.
"Ya. Tapi sayangnya, sejauh ini saya cuma tahu kamu," jawab Tama dengan lugasnya sehingga Yuna dibuat tak berkedip untuk beberapa saat dengan raut wajah terkejutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lawless Partner
RomanceBagaimana jadinya jika seorang pengacara yang skeptis dengan kinerja kepolisian harus bekerja sama dengan anggota kepolisian itu sendiri? Kasus kematian adiknya, membuat Yuna menjadi saksi hidup seorang pembunuh berantai yang sejak lama diincar ole...