Kunto menoleh ke kanan dan kiri kantor kepolisian pusat kota Jakarta. Kemudian, dia melangkahkan kakinya ke arah pantry kantor tersebut.
"To," panggil seorang petugas saat melihat Kunto masuk ke pantry.
"Bang Andi," sapa Kunto tersenyum.
"Pesenan si Tama. Hati-hati bawanya," bisik petugas itu sambil menyerahkan sebuah amplop berwarna cokelat kepada Kunto.
"Siap, Bang. Makasih banyak," jawab Kunto. Dia mengangkat tangannya membuat gestur hormat kepada petugas yang dipanggilnya 'Bang Andi' itu.
"Udah sana, malah bikin orang curiga," peringat Andi sambil melangkahkan kakinya keluar pantry membawa segelas kopi. Kunto pun bergegas keluar membawa amplop tersebut.
Dia buru-buru menaiki mobil Tama untuk kembali ke unitnya.
Sementara itu di kantor, Tama, Maya dan Arga sedang menunggu dengan papan tulis yang sudah dipenuhi tulisan terduga tersangka, ciri-ciri pelaku, dan hasil autopsi Meira.
Sekali lagi, Tama melirik jam tangannya. Dia memang sudah memastikan kalau komandannya sudah pulang duluan, Tama tetap merasa agak gelisah. Ia khawatir akan ada kasus yang harus mereka tangani sebelum dirinya berhasil memecahkan teka-teki kematian Meira.
"Pak," panggil Kunto yang akhirnya sampai di kantor. Dia bergegas memberikan amplop cokelat itu kepada Tama.
Tama menghembuskan napas lega setelah dia melihat isi amplop tersebut. Untunglah, dia bisa mengandalkan rekannya yang memiliki salinan dari berkas perkara Meira dan terduga tersangka bernama Citra itu. Tanpa ini, dirinya tak bisa menyelidiki lebih rinci apa saja yang dimiliki tim penyidik hingga begitu yakin bahwa Citra adalah pelakunya.
"Oke, kalian tahu kan kabar mengenai pelaku pembunuhan Meira sudah ditahan?" tanya Tama kepada para anggotanya.
"Iya, Pak. Jujur, saya agak terkejut. Karena saya pikir ini adalah pembunuhan yang dilakukan Anonymous," jawab Maya sambil menatap berkas-berkas tersebut.
Tama menjentikkan jarinya menyetujui pendapat Maya.
"Justru itu. Saya ingin meninjau ulang atau menyelidiki lagi apakah orang yang mereka tahan itu benar-benar pelakunya atau bukan.""Maksudnya kejaksaan asal tangkap orang atau -" Rega tak melanjutkan kalimatnya ketika Kunto menyikut lengannya. Memperingati agar Rega tak bicara yang berpotensi menyinggung atasannya.
"Kita tahu sendiri, seluruh masyarakat saat ini mendesak tim penyidik dan jaksa yang bertanggung jawab untuk segera menyelesaikan kasus ini. Karena desakkan orang-orang, bukan gak mungkin mereka kurang teliti atau ... Ya, menuntaskan kewajiban," jawab Tama yang membuat Rega mengerutkan keningnya bingung.
Tama meraih berkas-berkas itu dan berjalan menuju papan tulis.
"Maksudnya menuntaskan kewajiban? Bukannya artinya harus teliti juga ya?" bisik Rega kepada Kunto.
"Itu artinya, yang penting ada tersangkanya yang udah ketangkep. Urusan bener dia bener-bener pelakunya atau bukan, ya dikesampingin," bisik Kunto menjelaskan.
"Si bungsu banyak gak tahu, tapi suka sok tahu, ya?" ledek Maya pelan.
"Bacot," balas Rega dengan suara pelan juga.
"Oke, jadi kita punya korban, yaitu Meira. Pada tanggal 23 Mei, jam 18:59 WIB masih sempat bicara di telepon dengan saya. Perkiraan saya, dia diserang sekitar pukul 19:01 dan masih terhubung dengan saya," ujar Tama sambil menuliskan poin-poinnya di papan tulis.
"Pukul 19:05 telepon mati, perkiraan saya kondisi Meira saat itu sudah kritis. Hanya ada satu-satunya saksi saat kejadian, yang sempat kita duga tersangka, yaitu ... Yuna," imbuh Tama sementara Maya, Rega, dan Kunto serentak fokus memerhatikan pola yang sedang Tama buat untuk mengusut kasus yang belum sempat mereka analisis saat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lawless Partner
RomanceBagaimana jadinya jika seorang pengacara yang skeptis dengan kinerja kepolisian harus bekerja sama dengan anggota kepolisian itu sendiri? Kasus kematian adiknya, membuat Yuna menjadi saksi hidup seorang pembunuh berantai yang sejak lama diincar ole...