19. Rencana Tama

86 9 0
                                    

Yuna mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja sambil menatap Viko yang baru saja menyerahkan berkas kasus yang ditawarkan kepadanya. Siapa yang bisa menebak kalau Dimas memintanya untuk menjadi pembelanya di persidangan.

"Gak. Aku gak mau," jawab Yuna yang seharusnya sudah bisa ditebak oleh Viko. Namun, bukan Viko namanya jika langsung menyerah.

"Mereka nawarin bayaran 3 kali lipat lebih mahal, Yuna. Mereka dari kalangan orang besar lho, itung-itung buat promosi ke kolega-koleganya, kan?" bujuk Viko.

"Aneh, ini aneh banget. Jelas-jelas mereka tahu aku jadi pengacaranya Bara dan membuat jaksa menuntut dia sebagai tersangka utama, kenapa -" Yuna menghentikan kalimatnya ketika baru menyadari apa yang baru saja dia katakan. Begitu menoleh ke arah Viko lagi, dia melihat asistennya itu menatapnya bingung.

"Kamu yang bikin jaksa nuntut dia?" tanya Viko.

"Maksudnya ... Karena aku berhasil membuktikan Bara gak bersalah atas tuduhan pembunuhan, jadinya kan polisi akhirnya tahu kalau pelakunya adalah orang lain, yaitu Dimas." Yuna berusaha menjelaskan panjang lebar tanpa henti, berusaha meyakinkan Viko. Bisa gawat jika Viko tahu dirinya membantu kepolisian dengan memberi bukti-bukti terhadap Dimas.

"Intinya, Vik, aku gak mungkin jadi kuasa hukum Dimas. Lagian dari sekian banyak pengacara terkenal, kenapa harus aku?"

"Karena mereka bilang kamu itu hebat banget membela Bara. Dari yang tadinya ancaman hukuman mati, cuma dapet pidana penganiayaan ringan."

"Itu karena emang Bara gak bersalah. Kalau Dimas, udah jelas dia salah. Mereka gak akan puas apapun keputusan hakim nanti. Kamu pikir apa coba alasan sebenarnya mereka?" tanya Yuna menatap Viko lekat-lekat.

Viko mengerutkan keningnya, kemudian mencondongkan tubuhnya ke arah Yuna.

"Emangnya kenapa?" tanya Viko.

"Karena, mereka nyari celah untuk menjatuhkan aku kalau aku gak berhasil mengurangi hukuman ke Dimas. Dan mereka akan membandingkan kasus Dimas dengan kasus Bara. Kamu mau kita masuk ke dalam drama mereka?" jelas Yuna. Sebetulnya, itu semua hanyalah asumsinya belaka. Namun, dia harus mengatakan itu agar Viko berhenti membujuknya.

"Iya, kan?" tanya Yuna sekali lagi.

"Iya juga, sih. Tapi ..."

"Cari kasus yang lain aja, ya?" ucap Yuna tersenyum.

"Belum ada lagi, Na."

Senyum Yuna seketika luntur mendengarnya. Dia melihat Viko yang terlihat kecewa atas keputusannya itu.

"Ya udah istirahat dulu aja kita. Eh kamu udah makan belum? Aku traktir ya? Mau makan apa?" tanya Yuna berusaha menghibur Viko. Mendengar Yuna akan mentraktirnya, sontak, senyum manis pun merekah di wajah Viko. Dia segera meraih ponselnya untuk membuka aplikasi pesan - antar makanan online.

"Chicken fire satu ekor."

"Hah?" tanya Yuna berharap dirinya salah dengar.

"Extra cheese sauce. Gimana? Kamu mau juga?"

Yuna terkekeh pelan, "Aku ... Yang porsi normal aja deh."

"Oke!"

Harga satu ekor ayam goreng memang tak seberapa, tapi bagi Yuna yang sangat terbiasa hidup hemat, dia agak terkejut menghabiskan lebih dari Rp200.000 hanya untuk sekali makan.

"Tumben, kamu makannya banyak, Vik," gumam Yuna terkekeh.

"Dari pagi rasanya otak sama tenaga terkuras banget nyariin kasus pembunuhan yang ditangani pengacara di perusahaan ini. Jadi, rasanya laper banget," jawab Viko seketika membuat kedua mata Yuna terbelalak lebar. Lantas, Yuna segera beranjak dari kursinya dan menghampiri Viko di mejanya.

Lawless PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang