21. Trust

81 9 0
                                    

Yuna melangkahkan kakinya menuju kantor kejaksaan tepat setelah dirinya mendapat kabar mengenai penangkapan pelaku pembunuhan Meira. Bahkan, dia sudah mendapatkan jadwal persidangan pelaku sebelum dirinya bisa mengonfirmasi pelakunya.

"Tama," panggil Yuna begitu dirinya bertemu dengan Tama yang sudah menunggu di depan ruang pemeriksaan.

"Ikut saya," ucap Tama sambil menggandeng tangan Yuna. Dia menghampiri salah satu petugas. Setelah menunjukkan kartu identitasnya, Tama diizinkan untuk masuk ke dalam ruang penyidik.

Lewat kaca dua arah yang memperlihatkan ruang interogasi, Yuna melihat jaksa yang saat itu menginterogasinya kini sedang menginterogasi seorang wanita.

"Yuna, kamu adalah satu-satunya saksi yang melihat pelakunya. Perhatikan baik-baik, apa perempuan itu pelakunya?" titah Tama sambil menepuk-nepuk bahu Yuna yang diam tertegun menatap wanita itu.

Yuna masih memerhatikan wanita itu baik-baik, dia mencoba mengingat kembali saat dirinya berhadapan langsung dengan pelaku pembunuhan itu.

"Citra Maharani, kami menemukan banyak sekali bukti yang mengarah pada Anda. Semuanya sangat jelas. Mau sampai kapan, kamu akan menutupi tindakan kamu?" tanya Inggit.

Perempuan itu masih tak menjawab. Dia hanya diam termenung dengan sorot mata yang kosong. Sementara Yuna melihat postur tubuhnya, bentuk wajahnya, dan tangannya. Tak mungkin dia salah mengira. Orang yang menyerangnya adalah laki-laki.

"Yuna?"

"Saya ... Saya gak yakin pelakunya perempuan, dia tinggi, kuat, dan ..." Yuna hampir putus asa saat menyadari dirinya tak mengingat hal-hal khusus pada pelaku saat kejadian.

"Perempuan itu memiliki tinggi badan 175 cm. Dia seorang mantan pramugari dan ibu rumah tangga. Tinggi badan pelaku yang waktu itu kamu sebutkan sekitar 170 cm, kan?" tanya Tama dengan hati-hati.

Yuna terdiam lagi. Dia memang tak yakin pelakunya perempuan atau laki-laki karena kondisi ruangan yang gelap dan pelaku yang mengenakan topi dan masker. Tapi, dia juga merasa tak yakin orang yang menyerangnya begitu kuat ... Yuna mengingat sesuatu.

"Tama, saya harus berhadapan sama dia untuk membuktikan sesuatu."

Tama mengangguk, dia meminta salah satu petugas untuk menginformasikan hal itu kepada Inggit yang sedang berada di dalam ruang interogasi.

Mendengar melalui in ear-nya, Inggit refleks menoleh ke arah kaca dua arah. Kemudian, akhirnya dia beranjak dari kursinya dan berjalan menuju ruang penyidik.

"Semua bukti udah jelas, mau apa lagi?" tanya Inggit.

"Kita juga perlu konfirmasi melalui saksi. Apa kejaksaan mau dipermalukan lagi karena salah tangkap orang?" balas Tama.

"Salah tangkap orang gima -"

"Saya yang tanggung jawab nanti," sergah Tama sambil menggandeng tangan Yuna keluar meninggalkan Inggit yang tercengang kaget.

"Tama, denger ya. Waktu kalian gak lebih dari 5 menit," ucap Inggit ketika melihat Tama duduk di kursinya tadi sambil memakai in ear-nya. Sementara Yuna duduk di sebelah Tama sambil menatap terduga pelaku lekat-lekat.

"Mbak ... Citra. Anda bisa jelaskan apa yang terjadi di rumah korban pada hari kejadian?" tanya Tama. Namun, lagi-lagi perempuan itu hanya diam dengan pandangan kosongnya.

"Ini kasus pembunuhan, kamu gak memiliki hak untuk diam. Dan dari hasil penyelidikan ... Kasus ini adalah kasus pembunuhan berencana. Kamu tahu apa artinya?" tanya Yuna. Citra menoleh ke arah Yuna dengan tatapan datar.

"Artinya, ancaman penjara seumur hidup atau hukuman mati, Citra. Dan saya yakin kamu gak akan membiarkan anak-anak kamu ditinggal begitu saja sama ibunya, kan?" ujar Yuna dengan penuh penekanan, berusaha agar tak terdengar bergetar. Namun, dia gagal menyembunyikan emosinya. Saat itu juga Citra meneteskan air matanya, kemudian dia meraih tangan Yuna dengan gemetar.

Lawless PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang