Tama duduk di hadapan salah satu tersangka penyanderaan di ruang interogasi bernama Eko. Setumpuk berkas berada di atas meja tersebut.
Bagi Tama, ini adalah kesempatan terakhirnya mendapatkan jawaban atas segala pertanyaannya dari pelaku terakhir yang ia interogasi ini. Mau tak mau, Tama harus kembali melakukan hal yang seharusnya tidak dia lakukan sebagai tim penyidik.
Tama mengeluarkan beberapa lembar foto cetak dari dalam amplop. Kemudian, dia menyodorkan foto-foto tersebut ke hadapan Eko. Foto seorang perempuan bersama anak laki-laki yang dipangkunya.
"Ini ... Mereka ada di mana?" tanya Tama.
"Gak ada urusannya sama mereka ya!"
Setelah sekian lama hanya diam, akhirnya laki-laki itu mengucapkan kalimat. Meski tak menjawab pertanyaannya, Tama tahu Eko sudah mulai terprovokasi.
"Seharusnya mereka ada di Semarang, ya? Terus gak kedengeran lagi kabarnya. Gak mungkin kamu gak tahu keberadaan anak sama istri kamu," ucap Tama tersenyum miring. Namun, lagi-lagi Eko tak menjawab. Bedanya, saat ini dia menunjukkan tanda kegelisahan. Tatapannya tak terarah, tangannya bergerak tak beraturan, dan sesekali jarinya menekan-nekan punggung tangannya sendiri, serta ada keringat di keningnya.
"Kamu gak bisa bayar kontrakan di Semarang, anak sama istri kamu diusir. Mereka nyusul kamu ke Jakarta, dan karena kamu tinggal di mess perusahaan akhirnya anak sama istri kamu tinggal di rumah bos kamu. Sebagai ... Asisten rumah tangga. Tapi tiba-tiba, anak sama istri kamu keluar dari rumah bos kamu karena mencuri," ujar Tama yang sebenarnya hanya menebak-nebak dan sedikit mengarang karena timnya benar-benar tak mendapatkan keterangan asli dari keluarga pemilik perusahaan.
Tama melakukannya untuk melihat reaksi Eko. Dan benar saja, Eko bereaksi. Dia menoleh ke arah Tama dengan tatapan kaget dan tak percaya. Tama belum tahu Eko kaget karena cerita karangannya itu benar terjadi, atau karena Tama mengucapkan bahwa istri dan anaknya kabur setelah mencuri di rumah majikannya.
"Tapi saya gak percaya gitu aja sama bos kamu. Kalau memang keluarga bos kamu merasa kehilangan uang sebanyak itu akibat asisten rumah tangganya, seharusnya dia melapor, kan? Tapi ... Kira-kira ke mana anak sama istri kamu kabur?"
Eko terlihat tambah gelisah di tempat duduknya. Bahkan, dia kelihatan beberapa kali menelan salivanya.
"Atau, kamu sendiri gak tahu di mana istri dan anak kamu karena ancaman dari keluarga bos kamu?" tanya Tama.
"Pak, tolong! Tolong selamatkan istri dan anak saya. Saya gak berniat menyakiti siapa pun, saya cuma disuruh sama bos saya ... Tolong, selamatkan istri dan anak saya, Pak! Tolong ..." Eko seketika histeris hingga dia beranjak dari kursinya dan menghampiri Tama sambil bersimpuh dan menangis dengan tangan yang gemetar.
Sementara itu, Kunto segera masuk ke ruang interogasi untuk mengamankan keadaan.
"Saya ... Saya akan ceritakan semuanya tapi tolong... Kasih saya jaminan keselamatan istri dan anak saya. Saya tahu tempat mereka disekap ... Tolong, Pak ..."
Tama memberikan isyarat pada Kunto untuk mengembalikan Eko ke tempat duduknya.
"Denger, Eko. Saya janji sama kamu, kamu akan mendapatkan keringanan hukuman, kalau kamu mau bekerja sama dengan kepolisian. Tapi kalau kamu menipu -"
"Gak perlu, Pak. Saya gak perlu keringanan hukuman. Saya cuma perlu istri dan anak saya selamat!"
***
Ditinggal Tama sampai malam di meja kerjanya, ternyata tak begitu rugi untuk Yuna. Karena dirinya bisa membaca kasus-kasus Anonymous dan Meira. Ternyata, memang sangat banyak kemiripan yang ada di semua kasus ini. Bahkan, Yuna juga bisa membaca berkas kasus Citra yang saat ini ditetapkan sebagai terdakwa dalam pembunuhan Meira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lawless Partner
RomanceBagaimana jadinya jika seorang pengacara yang skeptis dengan kinerja kepolisian harus bekerja sama dengan anggota kepolisian itu sendiri? Kasus kematian adiknya, membuat Yuna menjadi saksi hidup seorang pembunuh berantai yang sejak lama diincar ole...