Jam tangan Yuna sudah menunjukkan pukul 23:20 WIB. Dia benar-benar lupa waktu untuk mempelajari kasus yang akan dihadapinya ini. Bahkan, Viko sampai sudah tertidur di mejanya.
Lantas, Yuna segera membereskan berkas-berkas itu bersiap untuk pulang.
"Vik! Viko!"
Yuna membawa tas dan berkas-berkas itu, kemudian menghampiri Viko dan memukul punggungnya dengan kencang hingga laki-laki itu terbangun sambil terlonjak kaget.
"Ayo, pulang. Udah malem banget," ucap Yuna sambil berjalan duluan.
"Yuna, tunggu! Jangan jalan sendirian." Viko buru-buru mengambil tas dan ponselnya, kemudian menyusul langkah Yuna keluar ruangan.
Mereka berdua berjalan menghampiri lift menuju lantai dasar. Yuna masih membaca buku catatan milik Meira. Tak terlihat ada yang aneh selain beberapa jadwal sidang.
Hingga dirinya tiba-tiba menghentikan langkahnya di depan pintu mobil saat melihat Viko berdiri di belakangnya.
"Kamu ngapain ngikutin aku? Mau numpang pulang?" tanya Yuna.
"Enggak. Tapi ada polisi yang bilang kalau kamu jadi saksi pembunuhan adik kamu. Jadi dia minta aku untuk selalu jagain kamu selama di kantor."
Yuna menghela napas panjang, ia benar-benar tak habis pikir dengan Tama. Menurutnya, mungkin sebentar lagi semua orang di kantor akan tahu mengenai tragedi itu berkat polisi keras kepala itu.
"Vik, gak usah berlebihan. Udah sana pulang. Besok pagi kita harus langsung ke kantor polisi, kan?"
"Oke, kamu tetep harus hati-hati ya," ucap Viko melambaikan tangan, sementara Yuna segera masuk ke mobilnya.
Yuna bergegas menjalankan mobilnya meninggalkan area parkiran kantor. Sambil melihat ke kanan dan kiri, dia mencoba mencari restoran cepat saji karena perutnya benar-benar keroncongan.
Hingga dirinya sampai di sebuah restoran cepat saji, Yuna berniat untuk makan di tempat karena dia masih ingin makan dalam suasana ramai, sebelum pulang ke apartemennya yang sepi.
Yuna turun dari mobil dan berjalan masuk ke restoran. Dia ikut mengantri bersama beberapa orang di depannya.
"Dia terus berusaha mecahin password-nya," gumam Yuna masih menatap ke arah buku catatan Meira. Dia menggigit bibirnya sambil terus membuka halaman baru dari buku tersebut.
"Pesen apa, Kak?" tanya seorang staf di bagian taking order begitu Yuna sampai di depan.
"Cheese hamburger 1, cola-nya 1, sama paket onion ring ya."
"Oke, Kak. Makan di sini atau take away?"
"Makan -"
"Take away."
Yuna membelalakkan mata ketika mendengar suara Tama menyergah kalimatnya, dan seperti dugaan, pria itu benar-benar ada di belakangnya.
"Maaf ..."
"Makan di sini," ucap Yuna dengan tegas.
"Take away aja, Mbak. Udah cepet langsung bikinin," sahut Tama berdiri di depan Yuna.
Karena tubuh Yuna jauh lebih pendek dari Tama, otomatis gadis itu seperti terhalang oleh gapura sebuah desa. Namun, mau bagaimana lagi, daripada dirinya berdebat dengan pria ini seperti sepasang kekasih, Yuna lebih memilih diam dan pasrah saja.
Sekitar 30 menit kemudian, akhirnya pesanan Yuna selesai. Tak tanggung-tanggung, Tama yang mengambil pesanan itu dan membayarnya menggunakan uang pribadinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lawless Partner
RomanceBagaimana jadinya jika seorang pengacara yang skeptis dengan kinerja kepolisian harus bekerja sama dengan anggota kepolisian itu sendiri? Kasus kematian adiknya, membuat Yuna menjadi saksi hidup seorang pembunuh berantai yang sejak lama diincar ole...