Setelah menjalani beberapa proses pemeriksaan, akhirnya Tama diizinkan pulang dengan bagian perban di bagian luka kepalanya. Namun, begitu keluar dari ruang pemeriksaan, ternyata dia masih menemukan Yuna di sini. Perempuan itu terlihat tengah serius menatap layar ponselnya dengan satu tangan yang memegang sebuah buku catatan.
"Gak ada luka serius, saya udah bisa keluar sekarang," ucap Tama karena Yuna masih belum menyadari kehadirannya.
"Masih pusing?" tanya Yuna.
"Saya harus balik lagi ke rumah itu," ujar Tama mengabaikan pertanyaan Yuna yang ia tahu hanyalah basa-basi.
"Saya ikut," sahut Yuna segera beranjak dari kursi dan memasukkan semua barangnya ke dalam tas.
"Kamu gak balik ke kantor?" tanya Tama.
"Saya udah izin untuk gak balik ke kantor hari ini. Udahlah, lagian mobil kamu juga masih ada di rumah itu, naik mobil saya aja," jawab Yuna melangkahkan kakinya duluan. Sambil berjalan di belakangnya, Tama mengerutkan keningnya heran. Dia sudah menebak kalau kedatangan Yuna ke rumah itu pasti terkait pencarian pembunuh adiknya. Namun, dia tak menyangka Yuna akan seantusias ini.
Baru saja Yuna membuka pintu mobilnya di bagian kemudi, tiba-tiba Tama menahan lengannya.
"Saya aja yang nyetir," ucap Tama sambil mengulurkan tangan ke hadapan Yuna.
"Gak usah ngerasa gak enak disetirin sama cewek. Lagian, Tama ... Saya sama sekali gak tertarik sama polisi. Jadi kamu gak perlu berusaha untuk bersikap gentle -"
"Saya gak mau dateng ke rumah sakit ini lagi sebagai korban kecelakaan. Jadi, saya aja yang nyetir," sergah Tama menghentikan ocehan Yuna yang sangat liar itu.
Yuna menahan napasnya, kemudian dia memberikan kunci mobilnya kepada Tama. Sambil melirik sinis ke arah laki-laki itu, Yuna berjalan memutari mobil untuk sampai ke pintu penumpang depan.
"Cuma dibawa ngebut segitu doang juga," gerutu Yuna dengan kesal membuka pintu mobilnya dan meringsek masuk. Dia segera memakai sabuk pengamannya dan mobil pun mulai melaju meninggalkan parkiran rumah sakit.
"Jadi, kenapa kamu dateng ke rumah itu?" tanya Tama.
"Saya nemuin alamat rumah itu di buku catatannya Meira. Makanya saya dateng untuk cari tahu," jawab Yuna sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Cuma karena itu?"
Yuna menghembuskan napas panjang, tangannya meraih buku catatan Meira dari dalam tasnya. Kemudian, dia membuka lembar halaman yang terdapat alamat rumah tersebut.
"Meira menulis alamat itu di salah satu lembar halaman yang letaknya jauh dari catatan terakhir dia. Artinya, dia lagi terburu-buru mencatat itu sampai milih halaman secara acak," ucap Yuna menjelaskan. Dan Tama hanya melirik sekilas pada buku catatan yang ditunjukkan Yuna karena dia harus tetap fokus menyetir.
"Oke, halaman acak, tulisan yang gak konsisten, terkesan terburu-buru. Alamat itu mungkin sangat penting dan dia mendapat informasi mendadak," ujar Tama yang disetujui oleh Yuna. Lalu, dia mengeluarkan benda lain dari saku celananya.
"Saya juga nemuin ini. Gantungan beruang di botol handsanitizer kecil punya Meira. Dia bukan orang yang akan mau disuruh dateng ke tempat-tempat kumuh kaya gitu."
Tama masih mendengarkan, dia membelokkan mobil Yuna memasuki perkampungan menuju rumah Sigit.
"Artinya, bisa jadi Meira sempat datang ke sini. Tapi keadaan apa yang bikin dia menjatuhkan botol handsanitizer-nya?"
"Kamu sendiri, tadi kalau gak salah bilang soal website anonymous. Apa kamu pikir dia yang mengelola website itu?" tanya Yuna.
"Tim cyber kepolisian yang melacak. Saya harus tahu dia hanya mengelola atau dia merupakan Anonymous juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lawless Partner
RomanceBagaimana jadinya jika seorang pengacara yang skeptis dengan kinerja kepolisian harus bekerja sama dengan anggota kepolisian itu sendiri? Kasus kematian adiknya, membuat Yuna menjadi saksi hidup seorang pembunuh berantai yang sejak lama diincar ole...