"Ada beberapa kerusakan di bagian kepala. Dari luar memang terlihat seperti akibat pukulan benda tumpul. Tapi ..." Seorang dokter forensik bernama Anita menjelaskan hasil autopsi pada jasad Farel kepada Tama. Kemudian, dia menunjukkan beberapa foto yang diambil dari TKP.
"... Dari posisi korban tergeletak, dan genangan darah yang menggenang di bagian bawah tubuhnya, kami menduga kerusakan pada kepala ini akibat korban terjatuh dan menghantam lantai saat tidak sadarkan diri," imbuh Anita.
"Jadi, maksud dokter, luka di kepala itu bukan karena dipukul?" tanya Kunto menyimpulkan.
"Untuk saat ini dugaan kami begitu. Gak ada luka memar atau kerusakan lainnya di dalam tubuh atau tanda-tanda kekerasan."
"Tapi, dok. Hasil pengujian darahnya positif etanol dan metanol. Artinya korban mabuk sebelum meninggal?" tanya Tama memastikan. Anita menganggukkan kepala.
"Kadar metanol dalam tubuh korban sangat tinggi. Cairan itu langsung menyerang otak, dan membuat korban meninggal seketika. Saya rasa, ini juga yang menyebabkan kepalanya menghantam lantai sangat keras," jawab Anita, kemudian dia menghembuskan napas panjang.
"Anak-anak remaja sekarang sering sekali mencampur bahan-bahan secara asal untuk menciptakan minuman memabukkan. Semuanya memang berbahaya, tapi mencampur dengan metanol ini yang paling bahaya. 15 cc aja masuk dalam tubuh, orang itu akan langsung meninggal," imbuh Anita sambil merapikan jasad Farel bersama beberapa petugas lain.
"15 cc?" tanya Kunto spontan.
"1 sendok makan," jawab Tama.
"Gak tahu dari mana anak-anak SMA itu bisa tahu cara mencampurkan metanol untuk membuat alkohol," ujar Anita menggelengkan kepalanya. Ia terlihat prihatin dengan anak-anak yang selalu masuk IGD dalam kondisi kritis karena minuman beralkohol.
"Mereka gak mungkin meracik sendiri. Pasti ada seseorang yang menyediakan," gumam Tama dengan yakin. Ia berpamitan kepada Anita sambil membawa hasil autopsi tersebut. Lalu, dia berjalan keluar bersama Kunto.
"To, Telepon Maya sama Rega. Minta mereka balik ke kantor, terus minta mereka untuk bikin laporan hasil penemuan mereka. Kita harus balik ke TKP."
"Siap, Pak."
Sambil berjalan berbarengan dengan Kunto yang sedang melaksanakan perintahnya, Tama terus memutar otaknya, memikirkan kemungkinan-kemungkinan apakah Farel meminum alkohol oplosan itu secara suka rela atau anak itu mengalami perundungan dan dipaksa meminumnya.
"Tunjukin kartu ID kamu kalau begitu. Jangan berbelit-belit."
"Astaga, sudah saya bilang ID Card saya ketinggalan di ruangan. Udah ya, saya buru-buru ada jadwal autopsi."
"Maaf, kamu gak bisa pergi ke mana-mana sebelum menunjukkan ID."
Kunto melirik keributan dua orang di depan ruang dokter itu selagi dia berjalan melewatinya bersama Tama. Seperti biasa, keributan orang lain selalu menarik perhatiannya. Meski ia tak tahu apa permasalahan yang terjadi di sana.
"Pak Tama!"
Seketika itu juga Kunto berhenti melangkah, dia menepuk-nepuk lengan atasannya itu agar berhenti melangkah juga karena namanya baru saja dipanggil.
Tama yang sejak tadi sedang melamun dan tenggelam dalam pikirannya, akhirnya menoleh ke arah seorang wanita yang memakai jaket dokter dengan masker medis dan kacamata itu memanggilnya. Namun, dari postur tubuh dan suaranya saja, Tama langsung bisa mengenali bahwa perempuan itu adalah Yuna.
"Saya harus autopsi kasus yang ditangani sama Pak Tama," ucap Yuna sambil berjalan cepat-cepat menghampiri Tama. Sang petugas rumah sakit pun mengikuti langkah Yuna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lawless Partner
RomanceBagaimana jadinya jika seorang pengacara yang skeptis dengan kinerja kepolisian harus bekerja sama dengan anggota kepolisian itu sendiri? Kasus kematian adiknya, membuat Yuna menjadi saksi hidup seorang pembunuh berantai yang sejak lama diincar ole...