Yuna membuka bungkus kertas dari sebuah burger dengan keju yang berlapis dan meleleh di sepanjang sisinya. Dia akui, burger kali ini jauh lebih menarik dan besar dibanding burger yang biasa ia beli di restoran cepat saji lain.
"Saya baru tahu ada tempat ini," gumam Yuna sebelum menggigit burgernya.
"Ini restoran cepat saji buatan lokal. Belum banyak yang tahu," sahut Tama menaruh botol air mineral untuknya dan Yuna.
"Rasanya lebih enak ini," ucap Yuna mengakui. Mungkin, dia akan lebih sering datang ke sini atau sekedar memesan melalui online.
"Jadi apa yang mau kamu bilang tadi?" tanya Tama di tengah-tengah makan mereka.
"Saya rasa Sigit itu gak bener-bener polos. Dia pasti tahu sesuatu soal kematian Meira dan website itu. Saya emang gak punya bukti apa-apa sekarang, tapi menurut saya dia agak mencurigakan," ucap Yuna pelan.
Tama menggigit burgernya, sementara tangannya mengutak-atik layar ponselnya. Lalu, dia menyodorkan ponsel itu ke hadapan Yuna.
"Itu kenapa saya pasang alat pelacak di handphone dia. Selain itu ..." Tama menekan salah satu aplikasi dan membukanya. Hingga, terlihatlah kamera yang menunjukkan ruangan rumah Sigit tadi.
"Kamu pasang kamera pengintai juga di sana?" Yuna tercengang tak percaya Tama bisa sesigap itu.
"Ini selalu saya lakukan pada orang yang saya curigai, tapi saya gak bisa menangkapnya," ucap Tama menarik kembali ponselnya dan memasukkannya ke saku celana.
"Saya akan coba terus untuk buka website itu. Pasti ada banyak petunjuk tentang si Anonymous," gumam Yuna, lalu menggigit hamburger-nya hingga mulutnya penuh.
Tama bisa melihat dengan jelas, bagaimana Yuna mulai berambisi untuk menemukan pelaku pembunuhan adiknya. Padahal, sebelumnya, ia pikir Yuna terlihat sangat tenang dan terkesan cuek. Namun, ternyata gadis ini diam-diam ikut menyelidiki juga.
"Tapi, saya heran. Kenapa kamu sampe segininya buat cari tentang Anonymous? Bakal naik jabatan?" tanya Yuna seketika membuat Tama terdiam untuk beberapa saat.
"Alasannya sama kaya kamu," jawab Tama pelan. Dia menggigit satu gigitan terakhir hamburger-nya. Lalu, dia beranjak dari mejanya.
Sementara Yuna memperlambat kunyahannya karena dia masih terfokus dengan jawaban Tama barusan.
"Langsung pulang ke apartemen. Jangan keluyuran ke mana-mana," ucap Tama, lalu melangkahkan kakinya keluar dari restoran tersebut. Yuna tak menyahut, dia malah menatap kepergian Tama, lalu menaruh sisa hamburger di tangannya di atas piring.
Tama memakai sabuk pengamannya begitu duduk di kursi kemudi mobilnya. Dia menyalakan mobil, dan termenung sejenak.
"Briptu Pratama Saputra, selamat bertugas di kantor kepolisian Jakarta Timur, ya."
"Siap, Pak."
"Sudah dapat bocoran apa nih dari abang kamu?"
"Siap, Pak. Saya ..."
Dering telepon berbunyi, memotong kalimat Tama saat itu. Sang komandan meraih gagang telepon dengan sumringah, tetapi ketika dia mendengar sesuatu dari telepon tersebut, raut wajahnya seketika memucat. Tama masih ingat, saat itu komandannya terlihat sangat terkejut, juga marah. Saat itu juga, Tama menerima kabar yang paling memilukan. Kakaknya telah gugur dalam bertugas.
Tama juga ingat, ketika dirinya harus mengikuti langkah anggota polisi lainnya menyusuri TKP di sebuah gedung terbengkalai.
Dia akui saat itu dirinya benar-benar terjatuh lemah ketika melihat bagaimana jasad kakaknya tergantung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lawless Partner
RomanceBagaimana jadinya jika seorang pengacara yang skeptis dengan kinerja kepolisian harus bekerja sama dengan anggota kepolisian itu sendiri? Kasus kematian adiknya, membuat Yuna menjadi saksi hidup seorang pembunuh berantai yang sejak lama diincar ole...