8. Perjodohan yang Gagal

97 6 0
                                    

Rumah masih dalam suasana berduka. Garis polisi belum juga dilepas, sementara kedua orang tua angkatnya menginap di rumah saudara mereka. Namun, Yuna tak menyangka akan bertemu dengan ibunya ketika dirinya berusaha menyelinap ke kamar Meira sore ini.

"Yuna gak sengaja lewat sini, dan mampir sebentar untuk ... Liat keadaan rumah," ucap Yuna begitu dirinya bertatap muka dengan Hani.

Hani mengangguk, kemudian dia melemparkan pandangannya ke lantai yang telah digambar garis tubuh Meira ketika ditemukan mati.

"Kamu masih tinggal di apartemen?" tanya Hani.

Yuna mengangguk pelan, dia merasa agak canggung dengan ibunya sendiri setelah sekian lama tak bertemu, ditambah dengan kejadian ini.

"Sebenarnya, polisi melarang Mama datang ke sini selama penyelidikan. Tapi, Mama mau ambil beberapa baju dan berkas punya Papa."

"Ya udah, Mama ambil aja."

"Mama ambil beberapa barang dulu, kamu tunggu di sini, ya?" ucap Hani. Sementara Yuna hanya mengangguk agar ibunya cepat-cepat masuk.

Begitu melihat ibunya masuk ke kamar, Yuna bergegas menaiki tangga menuju kamar Meira. Dia memakai sarung tangan latex yang sudah disiapkannya di saku, kemudian mulai menggeledah kamar itu secepat yang ia bisa.

Buku catatan, map di meja, hingga flashdisk di dalam gelas penyimpanan pulpen pun Yuna ambil. Di kamar ini, hanya terpajang foto-foto Meira dengan Gema yang manis. Bahkan, sejak mereka SMA.

Sejujurnya, Yuna sempat merasa sangat menyesal karena mengabaikan Meira yang benar-benar ingin mencari tahu si pembunuh itu. Ia tahu berurusan dengan seorang pembunuh adalah hal yang berbahaya. Namun, jika saja dulu dia tak membiarkan Meira mencari seorang diri, setidaknya dia akan bisa melindungi adiknya itu.

Yuna segera tersadar dari lamunannya dan berjalan keluar kamar tersebut. Dia buru-buru berjalan turun sambil melepaskan sarung tangannya.

"Yuna ..."

"Ya?" sahut Yuna segera berbalik mengarah pada ibunya yang berdiri di ambang pintu kamar.

"Kamu bawa mobil?" tanya Hani.

"Bawa, kok."

"Boleh Mama numpang pulang ke rumah Om Toni?"

Yuna mengumpat dalam hati. Seharusnya dia sudah pergi dari tadi tanpa menimbulkan suara. Jika sudah begini, dia tak bisa menolak.

"Ya udah, tunggu Mama sebentar lagi, ya?"

"Yuna nunggu di mobil kalau gitu," ucap Yuna agar ibunya tidak terlalu berlama-lama di sini. Dan setelah mendapat persetujuan dari ibunya, Yuna bergegas keluar menuju mobilnya. Namun, baru saja dia membuka kunci mobil, tiba-tiba seseorang berdiri di belakangnya sambil menodongkan sesuatu di belakang punggungnya.

"Diem, sekarang masuk mobil."

Laki-laki itu menyeret Yuna ke dalam mobilnya, sementara laki-laki itu duduk di kursi penumpang depan.

"Keluarin handphone kamu."

Yuna mengerutkan keningnya, dia jelas mengenal suara ini. Namun, Yuna menurut dan mengeluarkan ponselnya. Lalu, saat laki-laki itu hendak merebut ponselnya, Yuna menarik tudung hoodie laki-laki itu, hingga mereka berdua saling memperebutkan ponsel tersebut.

"Yudha?!"

Laki-laki dengan hoodie hitam yang ternyata Yudha itu tak menjawab, dia tetap mencoba merebut ponsel Yuna dengan menekan tangan perempuan itu di stir mobil hingga suara klakson pun terdengar panjang.

"Sakit!"

"Aku cuma mau kamu hapus foto-foto aku -" Belum sempat Yudha menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba pintu mobil ditarik terbuka.

Lawless PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang