Risih (GitChik) 1

418 42 3
                                    








1

### Pertemuan yang Canggung

Di pagi yang cerah, siswa-siswi SMA Harapan Bangsa bersiap memulai hari mereka. Gita, siswa kelas 11 yang terkenal dengan sikap dingin dan sok cool-nya, duduk di bangkunya sambil memandangi langit biru dari jendela kelas. Meski terlihat acuh, sebenarnya dia selalu memperhatikan sekitarnya dan selalu siap menolong jika dibutuhkan.

Gita bukan tipe yang banyak bicara. Ia lebih suka diam dan memperhatikan, terutama ketika ia melihat Chika, adik kelasnya di kelas 10 yang ceria dan penuh energi. Chika adalah gadis yang berbakat, pandai bermain piano, dan memiliki suara yang sangat indah. Hal inilah yang pertama kali menarik perhatian Gita padanya.

Hari itu, Gita duduk di kantin bersama teman-temannya, Oniel, Olla, dan Eli. Mereka bertiga adalah sahabat Gita sejak kecil, tapi mereka juga sering menjadi sumber godaan tak berujung bagi Gita.

"Git liat deh! Itu Chika lagi di sana!" seru Olla sambil menunjuk ke arah meja di mana Chika duduk bersama teman-temannya.

Gita hanya mengangguk pelan, tetapi hatinya berdegup kencang. Ia sudah lama menyukai Chika, namun tak tahu bagaimana cara mendekatinya. Setiap kali mencoba, Gita selalu berakhir dengan kata-kata yang kaku dan aneh.

"Kenapa nggak lo ajak ngobrol, Git?" saran Oniel dengan senyum menggoda.

"Bener, Git. Masa lo mau diem terus?" Eli menambahkan dengan nada mengejek.

Gita menghela napas. "Gue... gue nggak tahu harus bilang apa."

"Masa cowok sekeren lo nggak tahu cara ngomong sama cewek?" Olla menggelengkan kepala, lalu tertawa kecil.

Sementara itu, di meja Chika, suasana ceria selalu menyelimuti. Chika yang selalu ceria dan penuh energi, sering menjadi pusat perhatian. Namun, Chika tak pernah tertarik pada godaan para siswa lain. Ia lebih fokus pada hobinya bermain piano dan menyanyi.

Setelah kantin mulai sepi, Gita melihat kesempatan. Ia memutuskan untuk memberanikan diri mendekati Chika. Dengan langkah yang agak ragu, Gita berjalan mendekati meja Chika. Oniel, Olla, dan Eli mengikutinya dari kejauhan sambil menahan tawa.

"Hai, Chika," sapa Gita dengan suara pelan.

Chika yang sedang asyik berbicara dengan temannya, menoleh dengan ekspresi datar. "Oh, hai kak Gita. Ada apa?"

Gita terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Gue... gue cuma mau bilang, lo hebat banget main pianonya waktu festival kemarin."

Chika tersenyum tipis, tetapi nada suaranya dingin. "Makasih. Itu... udah lama banget."

Suasana menjadi sedikit tegang. Gita berusaha melanjutkan percakapan, tetapi yang keluar dari mulutnya justru hal yang tidak terduga. "Eh, lo suka makan apa di kantin?"

Chika tampak bingung dan mulai kesal. "Nasi goreng. Kenapa?"

"Oh, cuma pengen tahu aja," jawab Gita sambil menggaruk-garuk kepala, merasa sangat canggung.

Teman-teman Chika menahan tawa di belakangnya, dan Gita bisa mendengar suara Oniel, Olla, dan Eli tertawa di kejauhan. Merasa malu, Gita segera berbalik dan berjalan cepat meninggalkan kantin. Ia bisa mendengar tawa teman-temannya semakin keras.

Setelah kembali ke kelas, Gita duduk di bangkunya dengan wajah merah padam. Oniel, Olla, dan Eli datang dan duduk di sekitarnya, masih tertawa.

"Git, itu tadi... komedi banget, tahu!" Oniel tertawa sampai matanya berair.

"lo harus belajar cara ngobrol yang bener sama cewek, Git!" Olla menambahkan.

Eli menepuk bahu Gita. "Tapi setidaknya lo udah coba. Itu udah langkah besar."

Gita hanya bisa menghela napas. Ia tahu teman-temannya tidak bermaksud jahat, tetapi ia merasa usahanya selalu berakhir dengan kegagalan. Namun, di dalam hatinya, Gita tidak ingin menyerah. Ia benar-benar ingin mendekati Chika, meskipun caranya selalu kaku dan aneh.

Hari-hari berikutnya, Gita mencoba mencari cara lain untuk mendekati Chika. Ia mulai memperhatikan kebiasaan Chika lebih detail. Ia tahu bahwa Chika sering menghabiskan waktu di ruang musik setelah pulang sekolah, berlatih piano sendirian. Gita memutuskan untuk mencoba mendekati Chika di sana.

Suatu sore, Gita menuju ruang musik dengan hati-hati. Ia mendengar suara piano yang indah dari dalam ruangan. Gita membuka pintu perlahan dan melihat Chika duduk di depan piano, jari-jarinya menari di atas tuts, menghasilkan melodi yang memukau.

Gita berdiri di pintu, terpesona oleh bakat Chika. Ia tidak ingin mengganggu, jadi ia hanya berdiri di sana, mendengarkan dengan tenang. Setelah beberapa saat, Chika menyadari kehadiran Gita dan berhenti bermain.

"Oh, kakak lagi. Mau apa sekarang?" tanya Chika dengan nada sinis.

Gita berusaha tetap tenang. "Gue cuma... pengen denger lo main piano. Lo sangat berbakat, Chika."

Chika mendengus. "Gue nggak butuh penggemar, kak Gita. Kalo lo nggak ada urusan penting, mending lo pergi aja."

Gita terdiam sejenak, merasa ditolak lagi. "Maaf, gue cuma pengen ngobrol..."

"Ngobrol? Lo pikir gue nggak punya kegiatan lain?" Chika berdiri dan menutup piano dengan keras. "Gue udah cukup risih sama lo yang selalu muncul tiba-tiba. Kalo lo terus ganggu gue, gue bakal laporin ke guru."

Gita merasa hatinya sakit mendengar kata-kata Chika. Ia hanya mengangguk pelan dan meninggalkan ruang musik dengan langkah berat. Di luar ruangan, Oniel, Olla, dan Eli sudah menunggunya.

"Gimana, Git?" tanya Oniel sambil menahan tawa.

"Gagal lagi, ya?" Eli menepuk bahu Gita.

"Kalian ini nggak ada gunanya," gumam Gita, berjalan melewati mereka tanpa berhenti.

Meski merasa down, Gita tidak ingin menyerah. Dia terus mencari kesempatan lain untuk mendekati Chika, meskipun usahanya selalu berakhir dengan kegagalan.

Pada suatu sore, saat Gita pulang sekolah, ia melihat Chika berdiri di dekat mobilnya dengan wajah cemas. Mobil Chika tampaknya mogok, dan ia tidak tahu harus berbuat apa.

Gita melihat ini sebagai kesempatan untuk membantu. Ia mendekati Chika dengan hati-hati. "Chika, ada masalah?"

Chika menoleh dengan ekspresi kesal. "Mobil gue mogok. Dan gue nggak tahu harus gimana."

"Biar gue coba lihat," kata Gita sambil membuka kap mobil. Setelah memeriksa sebentar, Gita menemukan masalahnya dan mulai memperbaikinya.

Chika memperhatikan dengan cemas, tetapi ia tidak bisa menyembunyikan kekagumannya pada kemampuan Gita. Setelah beberapa saat, mobil itu kembali hidup.

"Sudah selesai. Coba nyalain lagi," kata Gita sambil tersenyum tipis.

Chika menyalakan mobilnya, dan mesin langsung menyala. "Terima kasih, kak Gita," katanya dengan nada yang lebih lembut. "Maaf kalau gue kasar tadi."

"Gak apa-apa," jawab Gita singkat. "Senang bisa bantu."

Untuk pertama kalinya, Chika tersenyum tulus kepada Gita. Meskipun dalam suasana yang tidak ideal, Gita akhirnya bisa mendekati Chika. Meskipun hanya sebagai menolong.









Bersambung....

Short Stories GITA KUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang