Takdir dan Humornya (GreGit)

766 82 11
                                    










GreGit



### Pertemuan yang Tak Disengaja

Angin sore itu bertiup lembut, membawa aroma hujan yang baru saja reda. Di sudut kantin kampus yang sepi, Gita duduk sendiri, memandangi tetesan air yang masih menggantung di dedaunan. Tangannya menggenggam secangkir kopi hitam yang mulai mendingin, sementara pikirannya melayang entah kemana.

Suara tawa riang memecah keheningan. Gita menoleh, dan di sanalah ia pertama kali melihatnya - Gracia, si artis film yang namanya selalu menjadi perbincangan. Gadis itu sedang bercanda dengan sahabatnya, Shani, dengan cara yang begitu natural dan polos, jauh berbeda dari image anggun yang selama ini ditampilkannya di depan umum.

.

"Shani... aku capek banget hari ini. Syuting iklan tadi pagi bikin pegal semua," rengek Gracia manja, menyandarkan kepalanya di bahu sahabatnya. Shani hanya tertawa kecil, membelai rambut Gracia dengan sayang.

Gita terpaku. Ada sesuatu yang berbeda dari Gracia yang ia lihat saat ini. Bukan Gracia si artis yang selalu tampil sempurna, melainkan seorang gadis biasa yang bisa merasa lelah dan ingin bermanja. Entah mengapa, pemandangan itu membuat jantungnya berdetak lebih kencang.

"Bodoh," bisik Gita pada dirinya sendiri, mengalihkan pandangan ke cangkir kopinya yang setengah kosong.

"Dia bintang yang tak terjangkau, sedangkan aku? Hanya mahasiswa biasa yang bahkan harus menghemat uang makan."

Namun takdir seperti sedang mempermainkannya. Sejak hari itu, Gita mulai sering berpapasan dengan Gracia di berbagai tempat di kampus. Di perpustakaan, di koridor, bahkan di tempat parkir. Setiap kali mata mereka tak sengaja bertemu, Gracia akan tersenyum sopan, sementara Gita hanya bisa mengangguk kaku.

.

Minggu-minggu berlalu, dan Gita semakin keras berusaha menghindari perasaan yang mulai tumbuh. Ia tenggelam dalam kesibukan kuliah dan kerja paruh waktu di sebuah kedai kopi. Tapi seperti takdir sedang mengejeknya, justru di kedai itulah ia kembali bertemu Gracia.

Malam itu hujan deras, dan Gracia masuk ke kedai dengan rambut dan pakaian yang basah kuyup. Tidak ada make up, tidak ada penampilan sempurna yang biasa ia tunjukkan. Hanya seorang gadis yang kedinginan dan butuh tempat berteduh.

"Satu hot chocolate, please," pesannya dengan suara bergetar. Matanya membulat ketika mengenali barista di hadapannya. "Oh... kamu yang sering kulihat di kampus, kan?"

Gita mengangguk kaku, berusaha menjaga tangannya tetap stabil saat membuat pesanan. "Ya, saya Gita. Semester 5 Teknik."

"Aku Gracia," jawabnya dengan senyum hangat. "Tapi sepertinya kamu sudah tau, ya?"

Ada ketulusan dalam suaranya yang membuat dinding pertahanan Gita sedikit retak. Malam itu, di tengah aroma kopi dan suara hujan, ia mulai memahami bahwa kadang takdir punya cara sendiri untuk membuat kita jatuh cinta, bahkan pada bintang yang tampaknya tak terjangkau.







# Hujan yang Mempertemukan

Hujan selalu punya caranya sendiri untuk menceritakan kisah. Seperti tetes-tetesnya yang jatuh tanpa pola, begitu pula takdir yang mempertemukan dua hati dalam paradigma yang berbeda. Bagi Gita, hujan telah menjadi saksi bisu atas perasaannya yang semakin dalam pada Gracia.

Sejak malam itu di kedai kopi, sesuatu telah berubah. Gracia mulai sering mampir, kadang sendiri, kadang bersama Shani. Setiap kali datang, ia selalu memilih untuk duduk di sudut counter, tempat ia bisa berbincang dengan Gita di sela-sela pekerjaannya.

Short Stories GITA KUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang