ᴜʀᴀɪ ᴄᴇʀɪᴛᴀ ʟᴀᴍᴀ

140 102 5
                                    

"Kebenaran itu bagai tabir yang tersingkap. Menyatakan otonomi yang tersembunyi, untuk melangkah maju dengan hati yang bersih."

°❀⋆.ೃ࿔*:・˚ 🐻‍❄️ྀིྀི⋅࿔*:・˚.ೃ࿔ ࣪ ִֶָ☾.

Langit kelabu menyambut siang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langit kelabu menyambut siang. Menyingkap tirai hujan yang tengah turun deras. Tarian rintiknya membasuh dahaga bumi yang kering. Dedaunan menari-nari, berbisik sembunyi pada semesta. Burung-burung menaungi ranting, dan sesekali mengicau merdu.

Di dalam kelas, sunyi menyapa, hanya dihias rinai dan gesekan halaman buku. Suasana tenang ini bagai pelarian dari hiruk pikuk dunia luar. Sebuah oasis kecil di tengah badai. Dari tiap lembar yang kubalik, membawa pengembara baru. Menuntunku ke dunia yang membuatku lupa sejenak pada kesibukan dan kekhawatiran realita.

"Rayna?"

Aku mengadah, menatap Nami yang berdiri di tengah-tengah pintu kelas.

"Ada yang nyariin lo, nih."

Aku menutup buku, kemudian melangkah ke luar dengan penasaran. Tepat di ambang pintu, aku bertemu dengan seorang perempuan yang tak asing. Matanya sipit, bibirnya tipis dan ia tengah mematutkan senyum ramah tak terduga. Sangat kontras dengan tatapan tajam dan amarah yang kulihat beberapa hari lalu di toilet. Perempuan itu, yang tak kuketahui namanya, adalah orang yang menghajarku bersama teman-temannya.

"Ada apa ya?" tanyaku ragu.

Perempuan itu melangkah maju, senyumnya semakin lebar. "Boleh bicara sebentar gak?"

Aku diam, tidak memberi jawaban apapun. Rasa sakit dan humiliation masih membekas di hatiku.

"Nama gue Tara. Dan gue mau minta maaf atas kejadian di toilet waktu itu, Rayna. Gue tahu gue salah. Gue gak tahu kenapa gue bisa begitu marah saat itu. Padahal gue jelas sadar, kalau lo gak bersalah."

Aku menunduk dan beranjak duduk di bangku koridor. Tara mengikuti dan duduk di sebelahku. Dari sudut mata, aku sadar bahwa Tara terlihat ragu untuk kembali membuka percakapan. Sejenak, aku mengusahakan perasaan untuk tetap tenang.

"Aku maafin kamu, Tara. Aku ngerti kenapa kamu marah. Aku juga kecewa, aku juga sama lukanya kayak kamu. Aku gak pernah tahu hubungan Mama dan Papa kamu. Aku gak munafik, kalau sejujurnya aku jadi benci sama Mama. Dua hari lalu Papa kamu datang ke rumahku. Dan disitu aku tengkar hebat sama Mama. Aku berusaha sadarin Mama, kalau tindakan dia itu salah. Tapi ternyata aku gak sepenting itu untuk ikut andil."

"Gue juga." Tara bersuara. "Di rumah, gue selalu jadi samsak kemarahan Papa. Gue pengin banget ngelindungin Mama dari Papa, tapi gak pernah berhasil. Gue selalu gak tenang ninggalin Mama sendirian di rumah." Tara menunduk. "Gue selalu nanya ke Tuhan. Kenapa Papa gak bisa ngehargain Mama, sedikit pun? Kenapa Papa ngasih banyak luka ke Mama? Kenapa Papa harus selingkuh? Kalau pernikahan mereka gak bahagia, kenapa terus dipaksa? Gue lebih milih gak lahir, dibanding harus ngelihat Mama tidur panjang di rumah sakit."

ALTAR RASA | END ✓ |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang