ʀɪᴍʙᴜɴ ᴘᴇɴᴜʜ ʀᴇɴᴜɴɢ

143 124 8
                                    

"Di rumpang gaduh dunia, kau sedia bagai oase. Dengan prakatamu yang bersamba, membius rasa. Kau tatah kata, bagai serimala memahat pualam. Sedangkan aku hanya pemirsa tunak, menikmati terma yang kau reka. Kau adalah pujangga, yang tanpa sadar mampu membuatku jatuh cinta pada bahasa."

°❀⋆.ೃ࿔*:・˚ 🐻‍❄️ྀིྀི⋅࿔*:・˚.ೃ࿔ ࣪ ִֶָ☾.

Hari-hari menjelang ujian sekolah terasa begitu cepat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari-hari menjelang ujian sekolah terasa begitu cepat. Aku menempuh sebuah fase di mana mimpi-mimpi mulai terasa begitu dekat, namun juga merencah. Kami dihadapkan pada sebuah momen krusial: menentukan arah langkah di masa depan.

"Rayna, sudah mantap mau masuk jurusan apa?" Taseefa  bertanya.

"Aku masih bingung. Antara Sastra Indonesia atau Psikologi," jawab ku ragu-ragu. "Kamu sendiri?"

"Aku sih penginnya Kimia, tapi orang tuaku maunya Ekonomi," sahut Taseefa kecewa.

"Kalau kamu?" Aku beralih tanya pada Seren yang terlihat suntuk.

"Gue penginnya DKV atau gak Informatika."

Aku mengangguk-angguk. Kemudian suasana kelas mendadak hening saat Bu Rahma masuk ke dalam kelas.

"Anak-anak, Senin depan ujian sudah dimulai. Saya ingin kita semua serius mempersiapkan diri. Dan sebelum ujian dimulai, saya ingin kalian mengisi formulir konfirmasi pilihan jurusan dan universitas."

Bu Rahma lalu membagikan satu persatu formulir. "Ini adalah keputusan penting. Pilihan kalian sekarang akan sangat memengaruhi masa depan. Oleh karena itu, pikirkanlah baik-baik sebelum mengisi formulir ini," lanjut Bu Rahma.

Aku menatap formulir di atas meja. Kolom-kolom kosong seakan menantang untuk segera diisi. Pilihan jurusan apa yang harus ku pilih? Sastra Indonesia, yang telah menjadi minatku sejak kecil, atau Psikologi, yang menawarkan tantangan baru?

Aku berdiri, kemudian maju ke depan meja guru dengan hati berdebar. Aku menatap Bu Rahma yang sedang membenarkan tumpukan kertas.

"Bu, boleh saya bertanya?"

Bu Rahma tersenyum ramah. "Tentu, Ray. Ada apa?"

Aku menghela napas. "Bu, saya masih bingung harus memilih jurusan apa. Antara Sastra Indonesia dan Psikologi, saya suka keduanya."

Bu Rahma mengangguk mengerti. "Ah, dilema yang sering dialami anak-anak seusia kalian. Dua-duanya memang jurusan yang menarik dan menjanjikan."

Bu Rahma lalu menunjuk kursi di hadapannya, mengisyaratkanku untuk duduk. "Mari kita bahas satu per satu ya, Ray. Kenapa kamu tertarik dengan Sastra Indonesia?"

ALTAR RASA | END ✓ |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang