ꜱᴇᴍᴇꜱᴛᴀɴʏᴀ ʀᴇᴛᴀᴋ ʟᴀʀᴀᴛ

108 94 4
                                    

"Selajur jenamamu, menggoyahkan sekat nurani. Cinta pertama, bak prahara yang menarungkan landai. Namun gamang menyelam dalam laut renjana, maka ku biarkan saja ia berpulang."

°❀⋆.ೃ࿔*:・˚ 🐻‍❄️ྀིྀི⋅࿔*:・˚.ೃ࿔ ࣪ ִֶָ☾.

Dengan napas tersengal, aku berlari menjejaki bandara yang hingar gaduh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dengan napas tersengal, aku berlari menjejaki bandara yang hingar gaduh. Pengumuman keberangkatan bergema di sepenjuru pilar-pilar, jantungku berdampung genting. Nama Elle terus bergaung di telinga, seolah-olah menyeruku untuk mengejarnya.

Kerumunan penumpang yang merayau, membuat jangkauku mampat. Papan informasi keberangkatan tampak begitu jauh. Aku terus menjara arloji, berharap keajaiban melantar tenggat untuk bersirat lebih lambat. Mataku lalu melekat pada lajur terbang menuju Kanada. Kuasaku menggegar, mencari-cari penerbangan yang sesuai dengan durasi keberangkatan Elle. Namun tubuhku terus terhuyung, terbabas oleh penumpang lain yang berangas.

Aku tak menyerah, terus bersiah menempuh kunci-kunci keberangkatan. Aku berharap upayaku tak telantar, dan mampu mengejar Elle.

Tuhan, terakhir ini. Tolong jangan terperai. Tolong beri rela berjumpa. Tolong mampukan langkahku, tolong tunda siuhnya sejenak. Aku hanya ingin sekadar pamit. Bukan menghambat.

Sesampainya di gate, aku langsung bertanya kepada petugas bandara. "Permisi, apakah penerbangan ke Kanada yang seharusnya berangkat pada pukul 17.00 sudah berangkat?"

Petugas itu menatapku sejenak, lalu mengangguk dengan raut wajah iba. "Maaf, Nona. Penerbangan tersebut sudah lepas landas sekitar 15 menit yang lalu."

Jemariku bergetar hebat, tungkaiku menyurut sisa-sisa pelarian, dan jantungku bergema menikam. Pendengaranku mendadak sengap, pandanganku baur melindap, dan tubuhku luruh pada dataran bandara. Air mataku gugur, plastik yang menyimpan tujuh ice cream strawberry, kini tumpah berpesai. Aku tak peduli lagi, rasanya amat mengetatkan inci batinku.

Tuhan, kenapa?  Kenapa tidak memberi ruang sejenak untuk berpamit?

Bukan ini yang ku harapkan. Dan bukan ini pula yang ingin ku pentaskan pada semesta. Seharusnya kisah kasih yang merampung gembira, bukan tinggal tersisa yang sesak.

Elle, kenapa?

Tangisku menderas, menggaduhkan sekitar yang padat. Aku tak peduli dengan pandangan terusik dari manusia-manusia yang berlalu lalang. Aku tak peduli bahkan ketika seluruh ragaku bergejolak, seperti dilucuti paksa oleh realita. Bahkan dambaku pada alam raya amat sederhana. Aku hanya ingin merangkup Elle dalam dekap, sekejap saja. Aku hanya ingin mengawat jemarinya, mengucapkan kalimat terjaga untuk terakhir kali. Dan aku hanya ingin menyatakan permisi, untuk hari-hari yang nanti terlampaui. Mengapa seperti itu saja tidak diperkenankan?

Langkahku limbung pada kursi tunggu. Aku tak berancang menyasap habis jejak-jejak air mata. Biarlah ini menjadi saksi dusta pada hati yang bersandiwara. Biarlah ini menjadi rela yang tertuntut. Dan biarlah bandara menjadi letak larutnya kelukur lara.

Aku memandang kosong surat yang tertitip. Dari manusia yang hadirnya selalu ku tanggap abadi. Yang rengkuhnya terduga kekal, dan senyumnya teterka lestari. Pada akhirnya pun ia tetap melipur, hilang terisap hakikat.

Surat tersebut kusingkap pergandaan. Dan terpandanglah gores tangan seseorang yang telah menyarak asmara dengan kepergian.

Boschavandes, 31 Maret 2022.

Teruntuk gadis gemintang, Naray ńa Ascella.

Hai, Nara. Selamat datang pada musim yang datang terpaksa. Segala permohonan maaf ku tuturkan sungguh. Maaf atas sakit hatimu, maaf atas andalan yang sia-sia, dan maaf pada pamit yang belum senggang terucap. Aku tahu ini serta-merta tanpa persiapan dan ini pula tak ada dalam lajur anganku. Sangat sukat berlalu pada asmara yang sudah tergait lama. Sangat gamang untuk bertutur jujur, pada yang sebenarnya perlu dijelaskan. Sungguh amat sulit merela, Nara. Maafkan manusia payah ini.

Nara, dengan takar nurani yang duka, ku akhiri jalinan asmara tentangmu. Sudahi sampai sini, ya? Aku tak ingin menjerat langkahmu untuk menaut bahagia di masa yang akan singgah. Aku tak ingin egois. Nara berhak pulih dan beriring dengan yang lain. Jangan menanti kepulanganku, ya? Sebab aku tak berjanji untuk kembali. Dan sebab aku pun tak pantas diberi luang dan kesempatan setelah menyakiti.

Nara, kuucapkan selamat ulang tahun untuk hari lahirmu di tahun-tahun selanjutnya. Supaya aku tak ingkar dan kamu pun masih dapat membaca ulang surat ini sewaktu-waktu.

Nara, untuk masa-masamu terluka, maafkan aku yang tak bisa lagi merangkul. Maafkan aku yang tak pandai lagi mengalun ranah damai. Tapi Nara tetap tak boleh rengsa dan kalah. Supaya tidak putus asa dalam menghadapi masalah, Nara harus lihat, bahwa semuanya wajar dan bisa diupayakan menjadi lebih baik. Kamu kuat dan istimewa. Kamu amat luar biasa.

Nara, semoga menjadi manusia bumi yang sahaja dengan arak hidup yang bermakna. Semoga bahagiamu tak tertunda dan tercapai seluruhnya. Semoga dapat menjadi penulis ternama yang berharga, dengan karya-karya yang terapresiasi. Semoga segala susahmu terurai baik, dan tiap pilu hatimu berpulih indah. Semoga tetap dalam penjagaan Sang pencipta, dan tak salah deraian. Semoga berkenan lama di buana dan mampu menyiar keberhasilan Sang insan.

Nara, aku pamit. Saat surat ini sudah berada di genggamanmu, itu berarti hadirku tak lagi berlabuh. Jangan bersedih larut, Sayang. Suatu hari nanti, kamu akan memahami dalih kepergianku, meski itu tetap tak dibenarkan. Sebab sesuatu yang hilang tanpa pamit, memang patut dibenci. Aku pun mengerti jika ini salah.

Naray ńa Ascella, aku mencintaimu, hingga nafasku tak lagi singgah di semesta.

Dari yang pergi:  El Léor Arnawama Auriga.

Pada akhirnya manusia tak ada yang berhasil menetap lama. Kehidupan menatar bahwa tiap entitas bersifat senyampang. Kesenangan, kegetiran, cinta, dan kehilangan, semuanya semata-mata penggalan dari radar kehidupan yang tak tersiah. Sebab kepuasan kodrati tak terletak pada tujuan akhir, melainkan pada pelawatan yang ditempuh. Ketika terlalu berpusat pada hasil, akhirnya seringkali mengabaikan keindahan proses.

Segala yang dianggap pasti, pada akhirnya akan beralih. Keinginan untuk menetap dan menyandang sesuatu yang kekal adalah hal manusiawi. Namun semesta memiliki ritme sendiri yang tak dapat ditentang. Kita hanya himpunan zarah yang saling berkorelasi dan membagi tiap narasi dalam waktu yang terbatas. Memahami kefanaan ini justru akan memapah pada kerukunan nurani.

Yaitu, manusia dengan segala batas akhirnya.

•••

ALTAR RASA | END ✓ |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang