ᴋᴇᴘᴜʟɪʜᴀɴ ʜᴀʀɪ

109 93 12
                                    

"Di punca senja, rawi meluas dan menyisihkan jingga. Di sana bintang mulai bersulam. Namun tetap tak sepiawai senyummu, yang kini tertinggal. Ingin ku pahat asmamu, di setiap gugur yang licau. Agar kau selalu bercadang, bahwa kita pernah beriring sebelum akhirnya berjarak."

°❀⋆.ೃ࿔*:・˚ 🐻‍❄️ྀིྀི⋅࿔*:・˚.ೃ࿔ ࣪ ִֶָ☾.

Jurnal milik Naray ńa Ascella, yang didekasikan pada si Tuan berkesan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jurnal milik Naray ńa Ascella, yang didekasikan pada si Tuan berkesan. Hanya  sebuah untaian narasi abadi pada manusia istimewanya.

Halaman pertama.

Boschavandes, 22 Mei 2022.

Di talun jiwa, Tuan, kembang asmaraku layu. Di lembah rebas-rebas, pelupuknya berluruhan. Pawana guram merisik, menjangkih memori semu. Tentang ikrar molek yang kini menggelap.

Dulu hatiku parak subur, kau redih cinta. Kini gersang, tak lahir lagi kabus dini. Maut paling merdu, biarkan aku terlena. Dalam delusi minat, beriringan selamanya.

Tuan, bagai gugus lepas, menyuar malam lengang. Namun pijaknya lelap, tak sempat ulang. Aku, duli di denai, terinjak tungkai. Dalam senyap, hatiku meratap lagi.

Halaman kedua.

Boschavandes, 23 Mei 2022.

Markah cinta yang rangup, terkatung-katung segara sepi. Tuan, bak rawi fajar, menyangai jiwa yang lumpuh. Namun kini, hanya pengandaianmu yang ku jumpai.

Penaka halimun cepat yang menitik di simalu. Cintaku padamu menjalir lebat, tanpa jeda. Namun, suratan bertutur beda, cerita kita tergenang.

Di padang hati, kini sahaja lahir duri. Menggilir bunga-bunga elok yang dulu bermegar. Tuan, maafkan aku yang tak kuasa lagi bertumpu. Biarkan aku temayun dalam sunyi ini.

Halaman ketiga.

Boschavandes, 24 Mei 2022.

Di penyeling gugus, ku cari bintangmu, Tuan. Yang kuratnya dulu menyuluh malamku. Kini, hanya debu kelodan yang tertinggal. Dalam lubuk hati, kecut terasa.

Sepercik rindu, menambus atma yang lemah. Merungkai samudra yang dulu berlimpah. Maut cinta, lebih sembilu dari tulang kaktus. Menghunjam dalam, mencatuk lekuk hati yang amat lumat.

Biarlah dulu, kesuma ini merana. Agar terluang yang elegan, mengisi ruangku. Kuharap, di balik kelam, ada mentari pertama. Yang menyiangi jalan, untuk menuju mujur abadi.

ALTAR RASA | END ✓ |Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang