𝗕𝗔𝗕 𝟱𝟬. DIJODOHKAN

4 1 0
                                    

“Tidak semua perjodohan itu berakhir tragis, seperti kisah yang lain. Bisa aja dia memang jodohmu. Walaupun kamu dijodohkan.”
— ALTAR.

HAPPY READING.

Tok tok tok...

Mentari baru saja menyelesaikan tugas fisikanya, tugas daru bu Rani. "Iya bu sebentar," Mentari langsung membuka pintu untuk ibunya. Dewi.

Dewi terlihat bahagia sekali hari ini, ia langsung menarik tubuh Mentari masuk ke dalam kamarnya. Lalu duduk di tepi ranjang dengan keadaan yang masih tersenyum hangat. Bahagia.

Mentari tentu merasa aneh dengan gelagat ibunya hari ini yang dinilai berbeda. "Kenapa bu?" namun Dewi tidak menjawab. Ia menatap foto Mentari yang ada di atas meja, lalu memandang Mentari.

"Ibu mau ngasih tau kamu sesuatu," kata Dewi, mulai serius. Mentari merasa ada sesuatu yang akan ibunya katakan. Sepertinya penting. "Apa bu?" Mentari ingin segera mendengarkannya.

"Sebenarnya ibu udah jodohin kamu dengan seseorang, dia adalah anak teman ibu pas SMA," jantung Mentari seperti terasa berhenti mendengar ibunya berkata begitu. Ia merasa tidak tahu apa yang akan terjadi sekarang dengan dirinya.

Dewi hanya tersenyum melihat ekspresi Mentari yang seperti itu. "Kenapa wajah kamu begitu, harusnya kamu senang sayang. Setelah kamu lulus. Kamu akan menikah dengan dia," kata Dewi, Mentari tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Ia tidak ingin di jodohkan.

"Maaf bu, Mentari nggak mau dijodohkan. Mentari udah punya—!"

"Stop! Jangan menolak. Ibu tau ini yang terbaik buat kamu. Kamu jangan membantah, lagian kamu pasti senang dengan perjodohan ini," kata Ibu pada, menyela ucapan Mentari.

Mentari tidak mau, ia sebenarnya ingin mengatakan jika ia sudah punya Alvaro. Tapi tampaknya Dewi tidak akan paham. Dengan dirinya. Ia lebih memilih diam.

"Ibu mau keluar sebentar, kamu jangan kemana-mana." Dewi langsung melenggang pergi dari kamar Mentari. Tinggal Mentari yang hanya terlihat diam di tempat masih memikirkan ucapan ibunya tadi.

****

SMA GALASKI....

"APA, LO MAU DIJODOHIN?!" pekik Queen hingga membuat seisi koridor memandang mereka berdua, menjadi pusat perhatian sekarang. Tentu Mentari merasa risih, Queen? Perempuan itu hanya terkekeh.

"Ahh, bisa nggak sih ngomong jangan keras-keras. Liat tuh mereka udah tau kan kalo gue mau dijodohin!" Mentari langsung pergi meninggalkan Queen, ia sedikit kesal dengan sikap Queen yang tadi.

"Tar tungguin jangan marah dong," Queen berusaha mengejar Mentari yang sudah jauh di sana. Mentari tak mengindahkan teriakan Queen yang berusaha mengejarnya.

Hingga di ujung koridor, tak sengaja Mentari berpapasan dengan Alvaro yang hanya lewat, tak seperti biasa yang selalu menyapanya. Mentari mengernyit bingung. Melihat Alvaro sudah pergi yang hanya terlihat punggungnya.

"Al dia kenapa? Ada masalah sampai nggak nyapa gue?" Mentari merasa ada yang aneh dengan Alvaro. Namun begitu ia harus positif thinking.

"Tar, udah jangan lari-lari gue cape ngejer lo tau nggak," Queen mengatur nafasnya yang masih naik-turun. Mentari bergeming di tempat. Masalah kembali datang kepadanya.

Tanpa aba-aba Mentari kembali melangkah berjalan ke arah kelasnya. IPA 1. Queen melotot tajam tak percaya jika Mentari meninggalkannya. "Ihh Tar, tungguin." Baru juga beristirahat. Queen kembali mengejar Mentari.

****

Di salah satu sudut sekolah Queen sedang menelpon pacarnya. Marcel Dirgantara.

"Iya sayang, gue udah tau semuanya. Oke sayang aku ke kelas dulu yah." Queen kemudian mematikan ponselnya.

Ia takut ketahuan oleh guru-guru yang memang melarang setiap siswa membawa ponsel ke dalam lingkungan sekolah. Tetapi biasalah ada aja yang membandel. Termasuk Queen.

****

Sepulang sekolah Mentari hanya diam, sedang Queen, ia terus berceloteh sejak tadi. Dua kombinasi yang tidak bisa disatukan. Andai aja ada Aurel pasti Queen akan ribut dengannya. Tapi dia udah pergi membuat Queen harus seperti dulu lagi. Bar-bar seperti Aurel.

"Tar nanti sore lo ada kerjaan nggak?" mereka berdua sedang berjalan ke arah parkiran. Mentari menggeleng artinya tidak.

"Oke kalo begitu gue mau ngajak lo ke Cafe yah. Gue mau ngomong. Mau kan?" Lagi-lagi Mentari hanya mengangguk. Ia memang tidak mood untuk berbicara. Queen menghembuskan nafas kasar kemudian membuka pintu mobilnya. Ia tau jika ada sesuatu dengan sahabatnya Mentari.

****

Di meja makan, Yoga memandang satu persatu anak laki-laki nya. Alvaro sejak kemarin hanya terdiam. Tak biasanya begitu. Hingga membuat kekhawatiran dari Yoga untuk melihat anaknya. Marcel, dia juga tampak canggung dengan situasi ini.

"Sebenarnya ada apa ini, kenapa jadi begini? Al cerita dong, siapa tau gue bisa bantu," Marcel membuka percakapan diantara mereka yang hanya ada kesunyian.

"Nggak, gue mau ke kamar!" Alvaro meletakkan sendok dan garpunya di atas piring kemudian beranjak ke kamarnya.

Setelah kepergian Alvaro, Yoga mulai berbicara dengan Marcel. "Sebenarnya dia kenapa?" tanyanya. Marcel menggeleng. Ia juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan adiknya itu.

"Nggak tau yah," balas Marcel, segera menghabiskan makanannya.

****

Cafe Hijau.

Cafe yang terletak tak jauh dari rumah Queen itu. Queen sudah berda di salah satu Meja, ia sekarang sedang menunggu Mentari datang ke mari.

Ada sesuatu yang ia ingin katakan. Namun ia malu mengatakannya jika hanya lewat telpon. "Lama banget sih Tari, atau gue yang kecepatan datang yah?" Queen bingung sendiri. Huh gimana sih.

Setelah menunggu beberapa waktu lama, akhirnya yang ditunggu sudah datang. Queen melambaikan tangannya untuk memanggil Mentari berjalan ke arahnya. Dengan elegant Mentari mendekati Queen.

"Wihh cantiknya, ehmm." Namun Mentari tidak berbicara apapun.

"Lo mau ngomong apa, langsung to the point aja. Gue banyak urusan nanti sore," ucap Mentari dengan wajahnya yang datar.

Queen terkekeh melihat ekspresi Mentari. Ia tahu jika Mentari sedang galau. "Lo mau mesen apa? Biar gue yang pesanin." Queen melihat daftar menu.

"Terimakasih, tapi gue nggak mau lama-lama."

Queen yang mendengarnya seketika sedih. Queen merasa bersalah karena gara-gara ke bar-bar nya. Satu sekolah tahu jika Mentari sedang dijodohkan.

"Lo bener nggak mau mesen?" dengan berusaha, Queen mencoba menawar kembali.

"Nggak Queen, makasih. Kalo nggak ada yang penting gue mau pergi!" Mentari masj kesal dengan Queen. Ia memperbaiki tas selempang nya yang ia bawa, bersiap-siap untuk segera pergi.

"Tunggu dulu Tar, gue mau ngomong!"

****

"Lo mau ngomong apa?" Alvaro sedang bersandarkan kepala diatas kepala ranjang sambil membaca buku novel.

"Gue mau tau lo kenapa," Marcel berbaring di samping Alvaro. Melihat Alvaro yang masih fokus dengan buku novelnya.

"Nggak ada, udah lo nggak usah kepo!" sahut Alvaro. Ia tidak ingin diganggu sekarang. Ia butuh pemimpin waktu yang tepat.

"Hmm yaudah, gue keluar. Oh iya pinjam motor lo yah." Marcel mengambil kunci motor Alvaro di saku jaketnya.

"Hmm... " tanpa bergerak, Alvaro masih membaca novel tanpa menoleh sesekali.

𝗕𝗘𝗥𝗦𝗔𝗠𝗕𝗨𝗡𝗚...

Terimakasih udah baca kisah ALTAR.
Sampai jumpa di bab selanjutnya!
See you 🥲

ALTAR [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang