- 04 ♥️

463 85 58
                                    

Miss (Nama) bilang, Miss (Nama) mengerti kebutuhan belajarku. Tapi aku tidak diperkenankan mempelajari hal lain selain perkalian dua.

Buktinya, sekarang, Miss (Nama) mengontak untuk melanjutkan kelas matematikanya, tapi ia juga minta diajak keliling desa. Aku malah menjadi pemandu wisatanya. Aku sudah bisa menebak, sembari aku menggiringnya ke sejumlah destinasi beristirahat, Miss (Nama) akan menanya-nanyai aku soal perkalian dua, sama persis seperti kemarin.

Aku mengganti baju, dan aku merapikan dasi di depan cermin. Aku memerhatikan refleksi tubuhku sembari merasionalisasi kemenanganku di perlombaan matematikanya. Lawanku sedang berkuliah di luar negeri, otaknya encer sejak lahir, dan dia berspesialisasi dalam bidang astrofisika. Aku bisa mati kalau aku bersikeras ingin melawannya.

Aku mengeset dasiku lumayan lama, karena aku gagal berkali-kali membentuk segitiga sempurna. Semakin lama aku melamun, pikiranku kian kalut.

Solar berada di level dimana dia bisa mengalahkan orang lain di ujian masuk Harvard, sedangkan aku sibuk berkutat di perkalian dua saja.

Aku frustasi hingga aku membiarkan dasinya berwujud tidak karuan, menggantung asal di antara kerah kemejaku. Kenapa anak SMA perlu memakai dasi, sih?

Aku menarik tas ransel berisi perlengkapan belajar matematika walaupun aku yakin buku-bukunya tidak akan terpakai. Aku menggendong ranselnya, mematikan lampu kamar, dan beringsut pergi tanpa menutup pintu. Ayahku sedang pergi ke luar kota, tapi karena di rumah ada beberapa pengurus dapur, aku meninggalkan rumah tanpa perlu mengunci pagar.

Rumahku dikelilingi pohon-pohon meranti. Bahkan kamarku menjorok langsung ke arah jurang, dimana di bagian dasarnya, ada sebuah danau berarir jernih dengan teratai-teratai Vietnam. Danau itu banyak jentik-jentik nyamuknya, dan setiap musim hujan datang, sisian kolamnya penuh akan telur bekicot di antara tanaman vegetasi musci.

Udaranya dingin. Kebetulan rumahku berada di pucuk bukit. Hal ini selalu mendistraksi aku setiap bangun pagi, sebab aku malas mandi dan berangkat ke sekolah saat cuaca terlalu dingin untuk sekadar keluar dari gelungan selimut.

Aku tidak punya tetangga dekat, kecuali rumah sepasang suami istri di sebelah barat rumahku, jaraknya sekitar lima meter—rumah itu penghuninya sering ribut karena prahara orang ketiga. Rumah di desa cenderung berjarak berjauh-jauhan, kecuali pada pemukiman warga di kaki bukit—di sana, di dusun itu, rumahnya cenderung berukuran lebih kecil, saling menempel satu sama lain, dan hanya difasilitasi jalan berkerikil untuk mencapai jalan provinsi.

Aku pergi menuruni bukit dengan berjalan kaki. Jalan beraspal di sisi kananku terpantau kosong, sebab desa ini relatif kecil, penduduknya sedikit, dan desaku merupakan desa non-wisata. Tidak ada turis.

Pemandangan sekolahku yang berdiri di lautan sawah tampak di pelupuk mata. Dari posisi ini, di antara rindangnya pinus-pinus, aku dapat memergoki sekolahku belumlah runtuh, dan terlihat begitu kuno jauh di bawah sana. Untuk pergi ke sekolah, aku punya dua pilihan lintasan. Track pertama cukup ekstrem, yaitu dengan menyusuri gunung tanpa jalan setapak, dimana aku bisa memotong jalan dan sampai lebih cepat. Track kedua mengharuskan aku mengikuti jalanan aspal ini sampai ke birai terbawah, lalu aku akan berbelok ke samping kiri pada persimpangan jalan, melewati persemaian hutan pinus garapan pemerintah, dan tibalah aku dalam waktu tempuh dua puluh menitan di sekolah.

Biasanya aku lebih suka memilih track pertama, sebab track pertama lebih praktis dituju, meski aku perlu berurusan dengan jalanan berbatu dan daerah karst berupa batuan kapur yang berpori, dan ditinggali banyak satwa dari hutan lindung. Tidak ada ular atau hal membahayakan lain. Aku malah senang, karena sewaktu-waktu aku biasanya bertemu tanaman kelengkeng merah, dan aku dapat memakannya langsung dari pohon.

Duri x Reader | Smart OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang