- 01 ♠️

902 97 122
                                    

Selesai mengajar di kelas kalkulus, aku berhenti sejenak untuk mengecek silabus. Aku perlu menyiapkan diri, setidaknya dengan meminjam modul ajar terbaru punyanya temanku. Aku memang cenderung kurang peduli akan perbaharuan teknik mengajar, selama yang menjadi bahasan, sebetulnya itu-itu saja. Meluangkan waktu demi literatur dengan tata kelola berbeda, tapi isinya sama? Aku menolak tegas. Namun, terkadang, supaya aku terlihat berpenampilan meyakinkan dan tidak diremehkan mahasiswa, aku butuh menenteng setidaknya satu edisi buku suspensi listrik dan macbook berstiker fakultas dimana aku mengajar, supaya aku kelihatan sedikit nasionalis terhadap kampusku.

Itu masalah pribadi. Dituduh tidak kredibel karena visualku sama sekali tidak menunjukkan bahwasanya aku seorang master teknik elektro. Aku migrain. Pas log in ke dunia, kayaknya aku kepencet difficult: hard mode.

Aku perlu mengajar kelas praktikum elektronika analog di laboratorium teknik elektro siang ini selama empat jam, kemudian istirahat makan siang dalam tiga pulut menit, dan aku punya jadwal menguji tesis dua orang mahasiswa dari kelas C dan F sampai sore hari nanti. Sebetulnya aku membatalkan beberapa janji. Termasuk bimbingan karya tulis ilmiah, seminar Internasional di Johor, dan segelintir urusan pribadi dengan ketua prodi. Benar. Ketua prodi, Pak Tarung. Pak Tarung merencanakan akan mengirim mahasiswa-mahasiswanya yang kemarin meminta izin untuk mempublikasikan jurnal terindeks EBSCOnya ke program pertukaran pelajar, tapi Pak Tarung bingung darimana datangnya anggaran tambahan agar mereka bisa diberangkatkan. Pak Tarung ingin berdiskusi denganku.

Aku menaiki satu per satu anak tangga di gedung F, karena setiap siang hari, lift mengantrinya panjang. Aku pergi ke lorong menuju laboratorium teknik elektro, masih dalam keadaan segar, karena sejauh ini, segalanya tersusun sesuai agendaku.

Tepat pada perkiraan, aku masuk ke labnya pukul sebelas lewat tiga menit.

"Selamat siang." Aku menyapa wajah-wajah kelelahan itu. Mahasiswaku berkelakuan aneh dan gerak-geriknya juga aneh. Mereka jelas-jelas baru bangun dari kasur sekitar pukul delapan ke atas, karena aku tahu, mereka orangnya malas-malas semua. Mereka bangun siang, dan mereka datang kemari tanpa berbuat apapun yang melelahkan secara fisik, tapi setiap aku menyapa mahasiswa, mereka memaksakan senyum dalam air muka kecapekkan setengah mati. Wajah mereka masam, kelelahan, dan terlihat tertekan.

"Siang, Miss." Mereka menjawab. Mereka memanggilku begitu. Mereka memilih memanggilku dengan istilah internasional karena mereka tahu, aku bukan orang lokal, dan aku awam dipanggil ... memakai sebutan orang Melayu.

Aku menyimpan buku dan laptop di pelukanku ke meja, kemudian aku mulai berkeliling ke meja-meja mereka. Kubuat mereka duduk berkelompok, di depan alat-alat yang telah mereka persiapkan sebelumnya.

"Kenapa murung begitu?" Tanyaku.

"Gapapa, Miss." Sori menjawab. "Suasana belajar memang selalu begini. Apalagi sekarang panas sekali."

Panas enaknya tidur. Hujan enaknya bikin mie. Lantas kapan belajarnya? Aku memelototi Sori.

"Ini kelas pertamaku di sini, iya 'kan?"

Sori mengangguk. Aku mengenal Sori. Dia sempat menghadiri kelas kalkulusku, karena aku juga mengajar kelas penyetaraan untuk mahasiswa baru, sebelum mereka masuk ke proses penjurusan. Anak itu mulutnya susah direm, dia ceriwis, dan dia vokal. Aku juga sering bertemu Sori di organisasi reboisasi. Sebetulnya aku tak tahu kenapa bisa-bisanya seseorang mendirikan organisasi reboisasi hutan di institut sains. Setiap hari institut ini bermain-main dengan nuklir, listrik, geothermal, dan polutan limbah kimia. Bagus memang, kalau ada yang begitu peduli terhadap lingkungan. Tapi, organisasi reboisasi hutan ... terdengar terlalu ... aneh. Aneh, bila instalasinya berada di institut sains.

Duri x Reader | Smart OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang