- 13 ♠️

501 99 56
                                    

Kemarin, aku dilamar oleh anak SMA. Pelamarnya masih SMA. Belum lulus SMA.

Di usia segini, bukannya dapat gadun, aku malah dapat berondong.

Aku terbengong-bengong di depan cermin. Aku sibuk membangun sains. Aku tak tepikir aku akan diberikan cincin betulan yang tidak bisa aku tolak karena aku berada di tengah-tengah alun-alun kota. Aku bukannya menerima mentah-mentah lamarannya. Menyimpan cincinnya bukan berarti aku menyetujui untuk dilamar. Lagi pula katanya, cincinnya bukan cincin pernikahan. Hanya suvernir.

Itu justru lebih membingungkan, karena aku dihadiahi cincin oleh anak SMA kelas akhir. Aku sendiri tidak tahu darimana Si Kucai membelinya. Aku memang melihat si Kucai pergi ke arah vending machine, ke antriannya. Tapi dia hilang dari pandangan mata sejak dia bergabung mengantri. Kupikir dia mau membeli susu dingin, atau soda kalengan. Tapi sepulang darisana, dia malah membawa cincin. Ada paperbag, kotak beludrunya, kartu garansi, kartu terbit pemahatan cincin oleh pembuatnya, nomor seri cincinnya—yang akan sangat berguna apabila aku mau menjualnya, supaya harganya tidak anjlok, dan justru cincin terbitan eksklusif jenis ini tidak dibuat setiap tahun, dan harganya mutlak naik mengikuti inflasi—serta dilengkapi oleh freebies dari toko perhiasannya.

Aku bahkan tidak mengerti cara bekerja berinvestasi dengan perhiasan dalam merek high end. Harganya berapa? Darimana asalnya uang si Kucai? Ayahnya? Kupikir dia tinggal di keluarga sederhana, rumahnya di puncak pukit, dan orang tuanya bermata pencaharian sebagai pemilik ladang, serta peternakan.

Aku membolak-balikkan cincin emas putihnya di atas terangnya lampu 130 watt. Di bagian depannya, cincinnya memiliki batu mengkilap; zambrud. Zambrudnya dibingkai oleh gugus zirkonia kubik keperak-perakkan. Harga batu hijau di sentral cincinya, zambrud, berapa ringgit? Merek perhiasan ini termasuk merek impor, mereka tidak menjual perhisan palsu, dan dari apa yang kubaca di sertifikat cincinnya, mereka mengonfirmasi bahwa benda hijau di bagian pusat cincinnya benar-benar merupakan zambrud dari pertambangan Carolina Selatan.

Aku dilamar bocah SMA ingusan yang tidak naik kelas sebanyak tiga kali, diberikan cincin, dan aku tidak tahu seberapa mahal harganya.

Karena aku merasa zambrudnya terlalu mahal untuk diafford anak SMA, aku berpikir untuk mengembalikannya kepada si Kucai jika anak itu telah menjadi setidaknya lebih waras dari kemarin.

Dia tidak buruk. Kucai tidak jelek. Tapi dia masih berondong. Berondong sialan. Dari miliaran populasi laki-laki di bumi, aku malah menarik perhatian muridku sendiri.

Bel di depan pintu kamarku berbunyi nyaring, dan disertai ketukan pula.

"Permisi, Miss. Ini aku, Duri." Katanya.

Aku menengok pada jam dinding. Ini sudah malam. Pasti si Kucai punya keperlun penting sehingga dia repot-repot turun dari lantai atas dan berjalan ke ujung koridor.

Aku cepat-cepat memasukkan cincin emas putihnya ke dalam bantalan dari kotak beludru, lalu menyimpan kotak beludrunya di paper bag berlogo T & C, menyimpannya bersama-sama dokumen-dokumen pembeliannya. Aku takut Si Kucai melihat aku melamun, menatap cincinnya seharian, jadi aku menyembunyikan paperbagnya di kolong meja ruang tamu. Kuhadap si Kucai tidak masuk ke sini dan bertamu.

Aku merapikan penampilanku. Aku mengikat rambutku, kemudian baru menyambut kedatangannya.

Seperti biasa, Si Kucai terlihat sumringah, terutama ketika aku menerima cincinnya.

"Ada apa?" Kataku. Aku butuh mengangkat daguku untuk menatap wajahnya.

Si Kucai mengasongkan plastik putih besar dengan isi kotak persegi yang panjangnya lebih dari dua jengkalan tanganku. Tiga jengkal? Ya. Kurasa lebih. Sebelas jengkal? Okelah. Sebelas. Sejengkal tanganku berukuran sebelas sentimeter, artinya ukuran boksnya kurang lebih tiga puluh tiga sentimeter. Pizza quartz? Itu paling masuk akal.

Duri x Reader | Smart OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang