Kemenangan bukan lagi terlihat sebagai hal yang mustahil. Akhirnya Si Brokoli mengerti, jika dia menginginkan pialanya, seharusnya deretan Top Ten bukan lagi masalah baginya.
Jika dia masih gemetaran lututnya saat mewajahi Glacier, urutan nomor enam dari Top Ten kemarin, maka bagaimana caranya menghadapi Top Three di masa depan?
Dalam pertandingannya melawan Glacier kemarin, dia hampir kehilangan arah. Mental yang duluan rusak mengerosi kemampuan primanya dalam berkompetisi. Tapi syukurnya, ketika dia benar-benar mengalahkan Glacier, dia kini memiliki percaya diri tinggi. Tanpa sedikit pun memandang rendah Top Ten, di laga kali ini, di stage menuju quarter final, Si Brokoli dipasangkan dengan Gempa, dan seperti apa pun caranya, dia wajib menang.
Si Brokoli terlihat bernapas tenang. Dadanya mengembang dan mengempis secara simultan. Dia tenang, tetap sopan, dan menguasai diri.
Hari ini, aku memakaikan Si Brokoli dasi ikat. Aku yang mengikatnya, karena basically, dia payah dalam berpakaian. Dengan dasi ikat baru, kemeja lengan pendek bersih, putih, dan rapi, dia tampak segar. Begitulah jadinya jika aku memeliharanya dengan baik.
Aku menonton pertandingannya kali ini, tanpa risau. Aku tak lagi mengkhatirkannya berlebihan, sejak aku tahu, dia sudah belajar untuk memiliki otoritas atas tubuhnya sendiri.
Sedang asyik-asyiknya mengaggumi berondorong hijau di ranah panggung, aku malah mendengar suara-suara mengganggu. Suara orang mendengkur. Di samping kananku ada Blaze. Di samping kiriku kosong. Tadinya kursi di samping kiriku diduduki oleh sepasang ibu dan anak balitanya. Katanya, si ibu sedang melanjutkan pendidikan pascasarjananya di Jerman melalui beasiswa penuh dari perusahaan ojek online, dan dia pulang ke Kuala Lumpur untuk beristirahat dari agenda penyusunan tesis. Ibu satu anak itu memangku putranya yang nakal, petakilan, dan tukang menangis. Meskipun aku dan sepasang ibu dan anak di samping kiriku hanya bertetangga duduk selama kurang lebih dua puluh menit kurang, tapi aku sudah terserang penyakit Babyblues.
Karena bayinya tantrum. Bayi itu tadinya nyaman dengan lighting gelap di daerah tribun, agar perhatian kami bisa terfokus pada gemerlapnya panggung arena. Tapi karena saat Gempa muncul, ultrasnya berisik sekali, bayinya jadi terbangun dari tidur nyenyaknya, dan mulai mengacau. Pertama, dia hanya menangis. Kupingku berisik. Sakit.
Kemudian, tangan si bayi mulai menggapai-gapai bajuku, dan menariknya. Dia caper banget, kalau boleh jujur. Andai bayi itu tidak duduk dengan ibunya, dan tidak ada saksi mata, aku mau menjauhinya sambil berekspresi jijik.
Belum sampai di sana. Penderitaanku berlanjut ketika aku menjawab telpon dari kolegaku di kampus, si bayi nampaknya tertarik pada gantungan kunci plastik berbentuk mutiara-mutiara kecil di casing ponselku. Benda kucu seperti ini memang rawan disukai bayi dan anak kecil. Tapi aku tidak sudi mengikhlaskan ponselku untuk dipinjamkan padanya.
Mengejutkannya lagi, ibunya si bayi tak punya niatan untuk menasehati bayinya. Bung, ini gantungan kunciku, dan sampai kapan pun, aku tidak akan memberikan barang-barangku ke orang lain—ke bayi, ke anak pra sekolah, ke perdana menteri Malaysia, ke presiden Indonesia, ke siapa pun! Aku tidak peduli dia siapa, tapi secara hukum, aku berhak mempertahankan gantungan kunciku.
Untungnya si bayi menangis lebih keras, sehingga si ibu menjadi tidak enakan, dan si ibu membawa bayinya pergi. Aku tak tahu kemana mereka pergi, entah ke toilet, atau keluar studio.
Dan sekarang kursi di samping kiriku kosong. Tidak ada siapapun. Aku mencari tahu lebih lanjut siapa yang tidur dan mendengkur di tengah-tengah acara bergengsi ini, dan ketika aku tahu suaranya berasal dari bangku depan, aku agak mencondongkan tubuhku ke depan untuk mengintip siapa pelakunya.
Tak diduga-duga, ternyata aku menemukan Si Ilmuwan Paleontologi tengah tertidur, dalam posisi mulutnya mengaga lebar, dan liurnya menetes melalui ujung bibir. Dia mendengkur halus, dan kalau kata orang, jika dia mendengkur begitu, artinya dia kecapekkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Duri x Reader | Smart One
FanfictionDalam letusan kemarahan sebesar ledakan Krakatau, aku berteriak nyaring, sampai suaraku memekik dan serak, "Carikan aku anak paling bodoh di Malaysia, akan aku buat dia menjuarai olimpiade matematika nasional melawan anak kuliahan!"