Listriknya mati.
Sepertinya mustahil ada gedung pencakar langit di Kuala Lumpur yang tidak punya genset, dan tidak responsif terhadap pemadaman listrik. Kalau mati listriknya terjadi di rumah sederhana di perkampungan Pulau Rintis, aku bisa memikirkan banyak sekali kemungkinan. Tapi gedungnya bertaraf nasional. Mereka menampung perdana menteri dan pejabat-pejabatnya juga. Aku mempersempit kemungkinan-kemungkinannya. Ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kegagalan peralatan utama, sistem distribusi yang usang atau rusak, atau insiden di gardu induk.
Atau overload. Tapi kenapa? Kukira semua gedung memiliki load tinggi, karena pemakaian listriknya pasti besar. Sesuatu terjadi pada aliran listriknya? Hubung singkat? Lagi pula kenapa ada hubung singkat ketika bumi sedang baik-baik saja?
Aku kira pasti pertandingan Group B terkena imbasnya juga. Pemandaman listrik biasanya mengenai hampir seluruh gedung, atau bahkan blok perkantoran, harusnya sih begitu. Quarter final berubah kacau balau. Karena genset tak kunjung dinyalakan, semua orang panik, dan para penonton cenderung bersuara riuh dan membentuk kerumunan massa di dekat pintu keluar studio.
Aku menyalakan ponsel, dan mengaktifkan senternya, seperti orang lain. Aku hanya melihat titik-titik cahaya, paduan dari banyaknya senter di tengah kegelapan total ruang sejenis bioskop kedap suara. Aku punya sudut pengelihatan seorang artis K-POP yang memandang pada lautan penontonnya, dengan cahaya temaram dari lightstick fans-fans garis kerasnya.
Aku meninggikan senternya, dan berbalik, meninjau keadaan para penonton di bangku belakang tribun. Dan aku malah menemukan Si Ilmuwan Paleontologi sedang tidur. Orang ini memang nokturnal. Kamar hotelnya selalu berisik. Aku mendengar suara gergaji mesin, ledakan larutan kimia, dan desing nyaring dari suara gir, serta suara-suara berbau praktik ilegal lain dari kamarnya, sekitar jam satu dini hari, sampai ke adzan subuh.
Aku mengabaikannya. Penonton lain sudah kocar-kacir, mereka berlomba-lomba mengantri untuk keluar, tapi pihak sekuriti menenangkannya.
Seseorang di ujung jalan menuju lorong gedung berhasil mencungkil paksa pintunya, dan setelah dibuka, rupanya situasi di luar studio memancarkan cahaya lampu.
Berarti, ini bukan masalah listrik di seluruh gedung. Padam listrik hanya terjadi di ruangan ini saja, di studio A. Group B bisa saja tak terganggu alur pertandingannya.
"Aduh. Mati listrik." Blaze mengeluh.
"Tetap tenang. Jangan berdiri dari kursimu. Aku akan segera kembali." Kataku, pada tetangga dudukku satu ini.
Tidak ingin berondong sayurku terganggu oleh hal-hal semacam mati listrik, aku melangkahi kursi penonton kosong di tribun bawah, menerobos kegelapan, dan berusaha menggapai lantai atas pada catwalk.
Ini bisa jadi sabotase, dan cara paling mudah untuk menyabotase sirkuit listrik, ialah dengan memanipulasi sekringngnya. Aku pergi ke arena belakang panggung, dan memanjat ke bagian atas catwalk melalui ruang pantia yang waktu itu diotak-atik komputernya oleh Sopan dan Frostfire untuk mengakses tangganya.
Bagian atas panggung dipenuhi oleh catwalk scaffolding tak terpakai dan kepala lampu sorot.
Sekring listrik pada studio biasanya disetting tak jauh darisini, mengingat semua kabelnya mengarah kemari. Ketika aku tergopoh-gopoh mencari, sambil menghindari tersandung oleh catwalk scaffolding dan barang penunjang opera lain, akhirnya aku menemukan sekringnya.Aku menjangkau penutup sekringnya, kemudian memandanginya seksama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Duri x Reader | Smart One
FanfictionDalam letusan kemarahan sebesar ledakan Krakatau, aku berteriak nyaring, sampai suaraku memekik dan serak, "Carikan aku anak paling bodoh di Malaysia, akan aku buat dia menjuarai olimpiade matematika nasional melawan anak kuliahan!"
