Miss (Nama) melepaskan diri dari tangkapan tangan Ice yang menyelamatkannya dari peristiwa tersandung kembang api tahun baru milik Blaze.
Aku membeku, memerhatikan bagaimana Blaze memungut seikat kembang apinya, mengembalikannya di meja makan, dan berkata, "Duri? Kamu di sini? Sayang sekali. Tadinya aku mau mengejutkan kamu setelah bertemu Ice."
Aku terkekeh canggung. Aku merasa tidak enak, karena tanpa sengaja, aku menghancurkan niat Blaze, dan aku menyesali tindakanku untuk tidak berjalan di belakang Miss (Nama) saja, menyembunyikan wajahku dari Blaze dan Ice, dan barangkali bisa mencegah Miss (Nama) jatuh tanpa harus melibatkan Ice.
Blaze memakai setelan kasual. Pakaian santai. Dia tak tampak seperti orang yang datang untuk menonton turnamen. Dari sini pun, aku melihat koper Blaze terparkir di sebelah kiri meja makannya. Jadi aku berkesimpulan, Blaze baru saja tiba, dan dia belum mencicipi rasanya menonton turnamen matematika itu. Dia tidak menonton pertandinganku dengan Fang, peringkat sebelas klasemen. Aku jadi sedih. Aku berharap Blaze bisa tinggal karena ini merupakan waktu senggang menjelang ujian nasional.
"Blaze!" Aku berseru. "Sampai kapan kamu akan disini? Bisakah kamu menonton sampai grand final?"
Blaze menggaruk area belakang kepalanya, dan menatapku ragu, "Akan aku usahakan. Tapi aku tidak janji."
"Menonton sajalah." Ice mendecak.
"Kalian berteman." Aku mengulas senyum. Baik Blaze dan Ice, mereka tidak menunjukkan kesamaan apapun. Aku terkejut mereka bisa berteman baik. Aku bingung apa yang mereka bicarakan ketika mengobrol—Ice orangnya kritis, dia mahasiswa filsafat, dia membedah ideologi di dunia hanya untuk mempertanyakan asas-asasnya, literatur ilmiah di Sinta-nya banyak dan terfokus pada analisis, pengaruh, dan statistik. Ice pun tidak berteman dengan siapa-siapa selama turnamennya dilaksanakan, kecuali mungkin aku, itu pun jika Ice benar-benar sudi menganggapku teman.
Dan Blaze, dia kutub lain dari Ice. Blaze bagaikan kuda liar yang tujuan larinya tidak jelas. Aku nyaman berteman dengannya karena dia tulus.
Entah bagaimana Ice dan Blaze bisa berteman. Alam semesta bekerja secara abstrak.
Blaze menenggerkan tangannya di pegangan koper. Di pegangan koper itu, dia mengaitkan gantungan kunci berbentuk ikon piala dunia tahun dua ribu dua puluh dua, boneka La'eeb. Boneka itu berbentuk lumayan besar. La'eeb ialah karakter kartun, maskot Qatar, bentuknya mirip penutup kepala khas Timur Tengah. Aku pikir, Blaze tidak bisa menonton turnamen matematikanya sampai selesai karena dia berencana membeli tiket pertandingan nasional sepak bola di Chin Woo Stadium, karena jadwal liganya dimulai minggu esok.
Sebelumnya, aku ingat, Blaze sudah bilang padaku; dia tidak bisa menonton acara Olympic yang waktu itu bertuan rumah di Kuala Lumpur karena waktu pelaksanaannya berbarengan dengan ujian kenaikan kelas, namun dia akan berusaha datang ke liga nasional.
Blaze pun menyampirkan jaket tipis yang biasanya digunakannya setelah berlatih sepak bola di eskul sekolah kami.
Blaze tidak melihat apapun pada diriku untuk dimanfaatkan, tapi dia tetap menyapaku, mengajakku makan siang di kantin, dan sebagai gantinya, aku selalu menunggunya latihan sepak bola. Jadi aku tahu banyak soal Blaze. Termasuk sejarah jaket di atas koper Blaze, karir sepak bolanya Blaze, dan kemelut keresahannya Blaze terkait hobinya dalam bermain sepak bola.
Sepak bola dimainkan oleh sebelas pemain. Sekolah kami punya eskul sepak bola, dan ada tiga tim di dalamnya. Artinya, ada tiga puluh tiga anggota di sana. Blaze merupakan tim inti. Tapi tak satu pun dari anggota eskul itu yang berambisi pada season cup. Mereka sering bolos saat eskul, menyisakan Blaze sendirian.
Kembali ke poin awal, sepak bola dimainkan oleh sebelas pemain. Tapi Blaze bermain sendirian, sedangkan teman-teman eskulnya kadang-kadang tak terlalu peduli soal eskul, dan mereka hanya menumpang nama. Blaze begitu kontras di antara teman-temannya, di bidang olahraga, dia seakan tak cocok berada di sekolah pinggiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Duri x Reader | Smart One
FanfictionDalam letusan kemarahan sebesar ledakan Krakatau, aku berteriak nyaring, sampai suaraku memekik dan serak, "Carikan aku anak paling bodoh di Malaysia, akan aku buat dia menjuarai olimpiade matematika nasional melawan anak kuliahan!"