Sebelum masuk ke panggung, aku dibriefing oleh panitia yang menjelaskan bagaimana aku akan tampil.
Karena turnamen matematikanya juga menjadi konsumsi publik, aku kini perlu mempelajari manner. Aku dilarang bicara kasar, menghina kontestan lain dalam sesi wawancara, tapi taunting dan selebrasi diizinkan, dan aku juga diminta berpakaian layak. Beberapa kru wardrobe datang padaku dan merapikan dasi kupu-kupu di kerah kemejaku, dan membetulkan sabuk kulit di lingkar pinggangku yang gespernya sempat kendur karena selama menunggu giliranku, aku tidur-tiduran sambil minum susu.
Minum dot susu.
Sesudah diwanti-wanti mengenai prosedur tampilnya, aku diperbolehkan naik ke podium turnamen, sebuah panggung modern berbentuk setengah lingkaran, dengan pengaturan lampu sorot, pemancar kembang api di bibir luar lingkarannya, dan mekanisme-mekanisme pemeriah lainnya.
Aku naik ke anak tangga, dan gelegar musik sound system terdengar dari setiap sudut ruangan. Aku menoleh ke tribun penonton, bidang duduk dengan kursi merah berlapiskan beludru, mirip seat bioskop. Bagaikan pertunjukan teater Knjaževsko-srpski, lightingnya meredup kala aku sampai di podium.
Mendekati mimbar, lampu sorot bercahaya netral menyembur ke arah wajahku, menjadikan aku titik pusat dari atensi penonton.
Sejak lima menit terakhir waktu tunggu, aku dibawa ke ruang antrian, sedangkan Miss (Nama) pergi ke tribun para guru, menyaksikan langsung performa tandingku. Oleh karena itu, aku menyapu pandang ke sekeliling, mencari Miss (Nama) di antara wajah-wajah penonton.
Salah satu kru dari catwalk menaburkan konfeti, menyambut keberadaanku.
Host acaranya datang dari vomitorium, dan wajahnya ditembak oleh kamera yang pengambilan gambarnya disiarkan langsung ke monitor raksasa di belakang punggungku.
Host itu bernama Kuputeri, content creator berpenghasilan tinggi, yang menyisikan uang perolehannya untuk membangun sekolah-sekolah di pelosok negri. Namanya harum. Dia dikenal banyak orang, dan aku pun mengagguminya. Dia datang dengan busana warna biru keabu-abuan. Kaftan meriahnya terseret di sepanjang karpet, dan renda-rendanya memesona sekali.
Satu tangannya memegang mikrofon, dan dia meresmikan turnamen matematikanya, "Dan, sebagai santapan utama, aku menghadirkan Duri,"
Karena aku merasakan adanya perbedaan intensitas pencahayaan, aku melirik ke belakang, dan aku menemukan monitor digital itu menampilkan hal lain; profil probadiku. Dengan latar belakang putih, kecerahan layar LEDnya bertambah, sampai sinar radiasi melumuri wajahku. Aku melihat transkrip nilaiku. Nilai matematika, sains, seni liberal, bahasa asing, dan pendidikan jasmani. Semuanya anjlok.
Aku meneguk ludah. Rapotku nilainya jelek-jelek, dan mereka mempertontonkannya, dan menyiarkannya di televisi. Tapi itu akan sangat menarik apabila aku berhasil memenangkan turnamennya.
Kuputeri berjalan cepat, dan dua buah kamera dengan gagang panjang di samping kanan dan kirinya tak berhenti mengikutinya melalui rel-rel. Akhirnya, Kuputeri tiba di podium, dia pergi ke tengah-tengah panggung sementara aku bertahan membisu di mimbar.
"Dan, di sisi lain," Kuputeri merentangkan salah satu tangannya ke sudut kosong panggung. "Gopal."
Aku nggak ingat Gopal itu siapa. Yang jelas, Gopal bukan Top Ten, atau ranking dua puluh ke atas. Miss (Nama) bilang sebaiknya aku memilih lawan gampang. Miss (Nama) menunjuk Gopal, dan aku hanya menurut. Miss (Nama) bukan guru sesat. Ajarannya betulan manjur. Jadi, aku sama sekali tidak meragukannya, aku menurut, dan aku menantang Gopal tanpa tahu siapa Gopal, darimana asalnya, apa jurusannya, dan seberapa tangguh Gopal dalam matematika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Duri x Reader | Smart One
FanfictionDalam letusan kemarahan sebesar ledakan Krakatau, aku berteriak nyaring, sampai suaraku memekik dan serak, "Carikan aku anak paling bodoh di Malaysia, akan aku buat dia menjuarai olimpiade matematika nasional melawan anak kuliahan!"