- 16 ♥️

292 60 107
                                    

Aku acap kali bingung dalam menerjemahkan apa maunya Miss (Nama).

Di hari pertama Miss (Nama) menginap, tepatnya pada malam hari setelah kami sampai ke rumahku, Miss (Nama) memarahi aku. Miss (Nama) menyuruhku untuk pergi main dengan Blaze, atau menyirami kaktus-kaktusku sepuas hati, sebab dia ingin aku cepat kembali ke Kuala Lumpur, memperoleh fasilitas belajar yang layak, dan mulai mengejar ketertinggalanku dari kontestan-kontestan lain.

Tapi sekarang, Miss (Nama) malah memintaku bersantai. Dia kembali ke setelan pabrik—terstruktur, punya tujuan yang jelas, dan dipenuhi oleh ide segar. Kali ini, ide segarnya yakni membiarkan aku belajar di desa, tanpa proyektor, kelas penunjang, tablet punyanya kementrian pendidikan, perpustakaan nasional di Kuala Lumpur dan tanpa pengajar lain dari sponsorship.

"Mereka-mereka itu setipe." Miss (Nama) mengomel. "Mau lulusan mana pun, bila mereka mengajarkan kamu secara formal, tapi mereka tidak visioner terhadap apa tujuannya, dan enggak mengerti caranya mengajar, kamu enggak akan pintar!"

Miss (Nama) menyilang tangan. Wajahnya memerah marah. Dia murka.

Dia murka karena Pak Kaizo mengirimkan pesan singkat padanya. Kata Pak Kaizo, Pak Kaizo mau menyediakan aku guru lain, guru yang benar-benar berspesialisasi dalam dunia kependidikan, dan niat itu sesungguhnya tidak diterima dengan baik oleh Miss (Nama).

Bahkan Pak Kaizo juga mendatangkan manusia dengan gelar magister teknik elektro di antara kandidat-kandidat pengajarnya. Miss (Nama) jelas terginggung. Kesannya, Pak Kaizo seperti membanding-bandingkan Miss (Nama) dengan pengajar lain.

"Magister teknik elektro yang diundang Kaizo itu bukan dosen. Dia penemu. Peneliti. Dia bekerja di instansi kelistrikan Johor. Aku tentu saja lebih relevan pada kasusmu, aku dosen, dan dia bukan. Aku mengajar, sedangkan dia tidak." Miss (Nama) mengaku-aku. Dia mendeklarasikan kelebihan-kelebihannya, sembari menyakinkan aku untuk tidak menambah pengajar, karena sebetulnya, aku tidak butuh guru lain.

Tapi, karena ucapan asal-asalannya, aku justru terpikirkan pertanyaan lain. "Oh iya. Kamu itu kan pintar, Miss? Kenapa tidak menjadi peneliti saja?"

Miss (Nama) melirikku sekilas. Raut marahnya melega. Tangannya merosot ke atas meja. Dan dia menautkan jemarinya.

"Menurutmu pekerjaan keren itu yang seperti apa?" Tanyanya.

Ketika Miss (Nama) bilang begitu, guntur muncul lagi, dan menakuti ayam-ayamku di halaman samping.

"Astrononot? Ilmuwan? Fisikawan? Presiden? Pengacara? Pemadam kebakaran? Pengusaha?" Aku menyebutkan apa yang ada di otakku.

Miss (Nama) menconot permen karamel di toples kaca, dan memakannya. Dia membuang bungkus plastiknya ke asbak, lalu dia melanjutkan ocehannya, "Ibaratkan pekerjaan-pekerjaan itu menjadi bentuk daun. Bayangkan sebuah pohon, dengan daun-daun berupa banyaknya pekerjaan keren. Akar mereka ternyata ialah seorang guru. Mereka lahir dari guru yang baik, iya, 'kan?"

Aku tidak bisa mengelak. Tapi aku tetap tidak mengerti kenapa Miss (Nama) memiliki ambisi semulia itu, padahal aku kira dia hanya seorang oportunis yang kebetulan diberkahi otak encer oleh Tuhan.

"Dan sayangnya aku suka fisika. Makanya aku terjun ke dunia kelistrikan. Listrik ialah masa depan dunia. Begitu. Simpel." Miss (Nama) mengunyah permennya. "Daun kemangi. Aku mau dengar, apa yang kamu rencanakan setelah lomba matematikanya selesai."

"Aku akan belajar." Aku menenangkan Miss (Nama). "Untuk ujian nasional."

"Jangan lupa ajarkan juga si Blaze binti ayam siapalah itu." Miss (Nama) mewejangi. "Dia tidak punya masalah dalam belajar, selain mudah dialihkan perhatiannya."

Duri x Reader | Smart OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang