- 24 ♥️

395 85 65
                                    

Quarter final. Satu step sebelum grand final.

Quarter final mengejutkannya diisi oleh ... Sopan. Peserta lower bracket. Media benar. Miss (Nama) benar. Gempa benar. Peserta lower bracket, terutama The Three Stooges perlu disorot lebih banyak dari Top Three. Mereka entah berasal darimana, dan secara curangnya, berhasil melewati kualifikasi ujian seleksi.

Quarter final artinya ada empat orang terisa di panggung laga. Itu aku, Solar, Sopan, dan tebak siapa satunya? Ice.

Aku dan Solar berada di Group A. Sementara Sopan dan Ice ada di Group B. Dan grand final merupakan pertandingan antara pemenang Group A melawan pemenang Group B.

Aku dipasangkan dengan Solar, dan Ice bersama Sopan, berdasarkan hasil undian lotre. Sialnya, itu bermakna, tidak akan ada grand final berupa aku melawan Solar. Karena hanya ada satu di antara kami yang akan maju untuk melawan Group B.

Jika aku berhasil melawan Solar, dan memenangkan laga Group A, lalu aku akan dihadapkan pada—kemungkinan besar, Sopan.

"Kamu takut?" Pertanyaan itu menghancurkan lamunanku.

Aku menoleh pada si penanya, Miss (Nama). Hari ini, dia memakai batik lainnya. Dia punya banyak batik, karena katanya, dosen memang berpakaian begitu setiap hari. Selama turnamen matematika ini pun, dari awal sampai akhir, dia setia mengenakan batik, sembari dia mengoceh, dan berkali-kali menerangkan, bahwa batik berasal dari Jawa, Indonesia. Entah kenapa dia menegaskannya ratusan kali, sampai mulutnya berbusa.

"Karena Solar?" Aku memastikan.

Miss (Nama) mengangguk. "Solar. Pucuk klasemen."

Aku memandang teduh pada kertas pengumuman undiannya, dan menggeleng, "Enggak."

"Kenapa?" Tanya Miss (Nama), penasaran. Prilakuku hari ini memang agak pendiam, karena biasanya, setelah admin membagikan hasil undiannya, aku langsung mencak-mencak karena dimulai dari stage lima sampai ke quarter final, lawanku rata-rata susah.

Aku menyimpan kertasnya di atas robekan amplop dimana sebelumnya kertas itu dibungkus, dan aku menjulurkan kedua tanganku. Aku melebarkan dan mengempitkan kesepuluh jari-jariku, dan berkata, "Aku awalnya takut. Tapi makin kesini, lampu sorot, jepretan kamera, teriakan penonton, dan hal lainnya tak lagi begitu mengganggu. Lagi pula, kata kamu, Miss, aku tak perlu memenangkan pertandingannya?"

"Ya," Katanya. "Itu tak lagi penting bagiku. Secara rasional, selama kamu tidak lagi buta matematika, artinya kamu memenuhi kualifikasi untuk lulus dari kurikulumku."

Kemudian, Miss (Nama) melanjutkan, "Dan jangan lupa urus pemberkasan dokumen-dokumen untuk mendaftar kuliah."

Kali ini, dia tampak mengintimidasi, dan serius.

"Y-ya." Aku mengangguk setuju.

Miss (Nama) menarik kertas pengumumannya, dan mencermatinya baik-baik, "Mari lihat. Lawanmu rupanya kalkulator hidup."

"Dih! Jangan begitu, Miss." Aku merengek. "Kamu merusak ritme ketenanganku."

"Tidak apa-apa. Kalkulator tidak bisa menyelesaikan persoalan matematika kalau angkanya tidak diinput oleh manusia. Dia baru kalkulator, bukan komputer atau kecerdasan buatan," Miss (Nama) memutar mata, kesal. "Ranking dua di kampusku juga manusia kalkulator. Tapi GPAnya lebih rendah nol koma tujuh dariku."

"Oh ya? Mengapa?" Aku menautkan alis.

"Dia jago menghitung. Tapi enggak bisa menyiasati soal." Jelasnya. "Maksudnya ... apa gunanya jika kamu bisa menghitung perkalian tiga digit dalam tiga puluh detik berpikir, kalau kamu tidak mengerti alogaritma rumus rumit secara makro? Matematika itu kan ilmu yang dibuat untuk menangkap pola dari alam semesta, entah pola apel jatuh dari pohon, pola kemana jatuhnya pensil ketika kita melemparkannya dalam sudut empat puluh derajat, pola fibonacci untuk membangun pola spiral indah di lantai Mesjid dan bangunan lain—jika kamu tak punya sense of math, agar kamu bisa memecahkan masalah, maka kamu tidak akan berguna di bidang keilmuan ini. Salah satu peserta dengan sense of math paling baik disini, menurutku ... Gempa."

Duri x Reader | Smart OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang