- 07 ♣️

800 143 110
                                        

Aku pikir, seleksi itu berbasis komputer. Ternyata malah konvesional.

Kaizo menyuruh aku meninjau soal-soal yang digunakannya untuk menyeleksi kontestan lomba, agar aku tahu seperti apa karakter soalnya, dan aku bisa mempersiapkan Si Asparagus sebaik-baiknya.

Lombanya sedang dirancang, ronde-ronde permainannya telah berprogres sejauh dua puluh persen. Aku tidak dibocorkan banyak. Aku hanya tahu, perlombaannya akan dimulai dengan ujian tulis lagi, ujian tulis semacam ini, ujian tulis berisi soal-soal matematika seperti limit fungsi aljabar, operasi pecahan istimewa, statistika, dan sejenisnya.

Aku menatap setumpuk kertas kusam di meja. Kertas-kertas itu dipenuhi coretan pulpen warna merah. Aku menarik lembar kertas pertama dan membaca beberapa baris isi soalnya.

Kertas ujian itu milik salah satu kontestan. Di dalam perhitungannya, dia cukup lihai dalam mengakali rumus. Tapi nilainya tidak sempurna. Dia berada di peringkat empat puluhan.

Aku mengobrak-abrik kertas lainnya, sampai aku menemukan kertas ujian punyanya Solar. Kertasnya relatif bersih. Dia bahkan tidak mengotret banyak, padahal di sela-sela setiap soal, Kaizo merancangkan sebuah kolom untuk menjabarkan rumusnya. Solar menyilang setiap pilihan ganda dengan yakin. Pulpennya sangat menekan kertas, bahkan tintanya sampai tembus sampai ke satu kertas di baliknya. Secara psikologis, dia pasti sangat percaya diri, apalagi soalnya soal anak SMA begini.

Seleksi itu terdiri dari dua ratus soal pilihan ganda. Tak setiap soal membutuhkan perhitungan kalkulus. Segelintir soal sebatas perlu dicermati dan diisi dengan sense of math—seperti melihat ujung angka dari perkalian sepuluh digit, mengidentifikasi bahwa soal itu mengandung unsur perkalian ber-angka belakang lima di semua bilangannya. Tentu saja, jawabannya pasti ber-angka belakang lima juga. Tidak usah dihitung.

Ada pun soal-soal logika, sebuah deret berpola. Orang tidak perlu repot-repot menghitungnya kecuali dia ingin menguji cobakan 'hipotesis' atas pola dugaannya.

Soal-soal lainnya bersifat tidak terlalu 'membunuh'. Bahkan soal yang kelihatan susah, soal bergambar abstrak penuh angka x, y, akar, dan angka-angka, sebetulnya hanya menayakan luas dari bangun datar campuran. Permainan subtitusi. Aku bahkan sudah mengajarkan konsep subtitusi, elminasi, campuran, dan bekal utamanya—aljabar, pada Si Asparagus Hijau.

Soalnya memang kelihatan rumit, dan kompleks. Tapi ini sebetulnya relatif menjebak. Kalau Si Asparagus benar-benar tahu cara menyambungkan potongan-potongan puzzlenya melalui rumus, aku yakin Si Asparagus juga bisa menjawab soal jenis ini.

Aku menyimpan kertas ujiannya Solar kembali ke meja, dan aku menilik jawaban mahasiswa lain.

Kebetulan, sesudah kertas ujiannya Solar, aku memergoki kertas ujiannya Halilintar juga bersih dari coretan pulpen. Artinya, panitia seleksi tak terlalu banyak mengoreksi jawabannya.

Seperti pada pengakuannya kemarin, rupanya Halilintar tengah sakit ketika mengerjakan soalnya. Aku curiga sisi lembab di ujung kertas ujiannya Halilintar disebabkan karena dia meneteskan ingus ke sana. Tidak. Aku bercanda. Tumpukan kertasnya barusan terciprat air minum dari salah satu mug gelas di tepi meja.

Halilintar mengotret dengan rapi. Tulisannya rapi. Ini terlalu rapi untuk ukuran corat-coret matematika. Tunggu. Halilintar merupakan mahasiswa teknik elektro. Pasti dia ahli menulis laprak. Halilintar bermata pencaharian sebagai mahasiswa penulis laprak dalam kehidupan sehari-harinya. Oh. Jadi itu alasan mengapa tulisannya rapi.

Halilintar salah mengisi pada soal nomor dua ratus, soal nomor terakhir. Satu angka terakhir yang dia tulis, yaitu angka tujuh, terlihat memiliki ekor terlalu panjang sampai melewati garis, dan mencoret angka lainnya. Kukira dia pingsan setelah mengerjakan dua ratus soal ini, tapi dia tetap bertahan menghitungnya sampai akhir lantaran gengsi kalau kalah.

Duri x Reader | Smart OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang