"Kamu yakin, kamu sudah membaca naskahnya dua kali?" Tanya Miss (Nama).
"Udah, tapi," pandanganku mendarat pada buku sejarah tipis yang ditulisnya masih mempergunakan mesin tik. Akasara mesin tik itu berbentuk kotak-kotak, dan sulit dibaca. Buku sejarah Perancis. "Bukannya kita harus belajar matematika?"
"Seminggu setelah lombanya selesai, kamu akan ujian nasional." Miss (Nama) mencopot kalender jadul dari dinding hotel, dan menggantinya dengan kalender baru dari penjaga resepsionis. Kemudian, Miss (Nama) mengeluarkan spidol merah dari saku celananya, dan mengganti lembar kalendernya ke bulan november nanti. Pada tanggal dua puluh tujuh november, Miss (Nama) memarkainya, menandakan hari lomba matematika di eksenplar itu.
Setelah selesai, Miss (Nama) membuang spidolnya ke tong sampah. Tinta spidolnya memang sudah kering. Aku memakai spidol itu dari kemarin.
"Dengar ya, Kecipir. Memenangkan lomba matematika itu hanya akan membuktikan kredibilitas mengajarku." Miss (Nama) beralih duduk di kursi berkaki tiga di sebrang mejaku. "Tapi, lulus di ujian nasional, dan ujian tes masuk perguruan tinggi artinya memperbaiki masa depanmu."
Aku mau bicara, mengelak, tapi aku mengurungkan niat. Aku khawatir aku bakal mempermalukan Miss (Nama) di stage pertama lomba matematikanya. Aku takut aku tereliminasi di babak pertama bahkan tanpa menyentuh satu pun Top Ten. Aku paranoid pada hal-hal mengerikan itu, sedangkan Miss (Nama) malahan mempertimbangkan urusan lain. Masa depanku, katanya.
Aku melihat lekat-lekat pada wajah Napoleon Bonaparte dengan topi Bicorne hitamnya dalam laminating sampul buku sejarah itu. Di belakang sosok gagah Napoleon, warga tampak menyorakinya, termasuk kaum borjuis dengan haute couture kental.
Bukunya tidak tebal. Hanya ada lima puluh halaman, termasuk daftar isi, kata pengantar, dan CV penerbitnya. Buku ini dicetak oleh orang Malaysia yang bergerak di didang kebudayaan, riset, serta teknologi. Bukan buktu terbitan pemerintah.
"Kecipir?" Miss (Nama) memanggil.
"I-iya, Miss?" Aku terhenyak dalam lamunanku. Aku disuruh belajar sejarah. Miss (Nama) memintaku membaca salah satu buku yang ada di kopernya, mempelajarinya secara bertahap. Sebagai gantinya, Miss (Nama) memasak takoyaki untuk dimakan. Camilan sebelum makan siang.
Sejarah bukan pelajaran yang sulit, awalnya kukira begitu. Hari ini, Miss (Nama) memfokuskan pelajarannya pada sejarah. Miss (Nama) tidak bermuka orang jago sejarah. Dia terlihat meragukan. Lagi pula, Miss (Nama) tidak mengajariku secara verba, dia hanya menugaskan aku membaca dan menghapal.
Klasik.
"Sudah? Yakin? Aku akan mengetes hapalanmu." Katanya.
Aku mengangguk. Aku tidak suka menghapal. Aku terpaksa. Tapi menghapal tidak sesulit menghitung dan memahami matematika—ini prinsipku. Dulu. Prinsipku, ketika aku belum mengenali matematika. Tapi kalau dipikir-pikir, menghapalkan membutuhkan tenaga yang lebih banyak daripada menghitung dan memahami. Soal matematika super sulit itu ternyata tidak mewajibkan aku mengkalikan angka ratus digit. Penyelesaiannya justru sebatas menguraikan angka per angkanya, tanpa menghitung; berlogika.
Aku mulai ragu, apa benar, matematika lebih sulit dari sejarah.
"Aku akan memperkenalkan kamu pada Blooms Taxonomy." Miss (Nama) menarik senyum. Aduh. Seumur hidup, dalam pelajaran sejarah, aku tidak tahu apa utu Blooms Taxonomy sama sekali.
"Oke. Kecipir. Persingkat dan deskripsikan padaku mengenai Revolusi Perancis." Katanya.
Aku menarik napas, mencoba mempersiapkan diri untuk bercerita panjang lebar, "Revolusi Perancis itu puncak dari amarah masyarakat Perancis. Periode perubahan radikal di Prancis yang dimulai dengan ketidakpuasan terhadap kekuasaan absolut Louis XVI dan ketidakadilan sosial. Tahap awalnya termasuk pengambilan Bastille dan deklarasi hak asasi manusia. Kemudian, terjadi perubahan menuju republik dan eksekusi Louis XVI. Periode Teror di bawah Robespierre diikuti oleh pemerintahan Direktorat yang lemah. Revolusi berakhir dengan kudeta Napoleon Bonaparte, yang mendirikan Konsulat dan mengakhiri era revolusi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Duri x Reader | Smart One
FanfictionDalam letusan kemarahan sebesar ledakan Krakatau, aku berteriak nyaring, sampai suaraku memekik dan serak, "Carikan aku anak paling bodoh di Malaysia, akan aku buat dia menjuarai olimpiade matematika nasional melawan anak kuliahan!"