Berondong sialan itu menjawab tujuh dikali tujuh sama dengan empat puluh delapan. Aku memaklumi jika manusia di zaman modern tidak menguasai perkalian satu sampai sepuluh. Tapi bukan berarti, aku mengikhlaskan seorang anak SMA tidak bisa menyelesaikan pertanyaan dasar seperti itu. Aku berpikir, ribuan orang tidak menghapalkan perkalian karena mereka bisa menghitungnya secara manual. Setidaknya semua orang pasti mengingat perkalian lima, dan tinggal mengakali sisanya. Atau jika Si Buncis betul-betul tidak berkapabilitas mencernanya, bukankah dia bisa menghitung manual? Tujuh ditambah tujuh, ditambah tujuh, ditambah tujuh, ditambah tujuh, ditambah tujuh, ditambah tujuh?
Atau dia sudah menghitung manual tapi karena pusing, dia salah? Itu namanya ceroboh. Berapa cerobohnya anak itu ...
Aku sudah meminta transkrip nilai rapotnya. Secara akademis, aku hampir tidak melihat celah. Nilai rapotnya jelek-jelek semua, dia diluluskan atas dasar belas kasihan dari guru-guru. Bahkan dia tidak bagus di pelajaran olahraga.
Nilai pas-pasan di rapotnya merupakan tipuan terbesar di bumi. Aku yakin nilai aslinya tidak sampai ke batas lulus. Bahkan di ujian dadakanku, skornya dua koma lima.
Nilai ujiannya dua koma lima, nilai rapornya palsu, dia gagal menjawab tujuh dikali tujuh sama dengan berapa, aku yakin ini akan menjadi perjalanan yang panjang dan mengerikan.
Bisakah aku mengubahnya? Belum tentu bisa. Aku mengusahakan segalanya. Aku bisa menyalurkan seluruh upaya-upayaku. Aku memerhatikannya lebih banyak ketimbang aku memerhatikan mahasiswa pintarku di jurusan sains dan teknologi. Tapi ya, aku mau menilai, bagaimana dia menerimaku.
Si Kembang Kol itu ada di sana. Duduk di barisan paling depan. Wajahnya kusut, tak bersemangat, dan seperti kekurangan oksigen. Dia duduk di kursi reot yang satu kaki kursinya sebetulnya pincang, tapi seorang satpam baik hati memperbaikinya dengan sebongkah paku. Polesannya tidak sempurna. Kapan pun Si Kembang Kol bergerak, kaki kursinya akan menghasilkan deritan ngilu. Jujur, aku takut dia jatuh.
Hanya ada kami di kelas kosong ini. Kelasnya unik. Penerangannya sangat baik, karena negara di dekat garis cakrawala selalu disemprot sinar ultraungu habis-habisan di sepanjang tahun. Ventilasi udaranya juga ada. Alterasi udara diperoleh dari jebolan tembok yang dicor asal-asalan oleh adukan semen kasar, dan tanpa ditimpa cat. Warna hijau telur asin di keempat sudut ruangan menambah semangat mengajarku. Terang. Sial. Terang banget karena warna catnya luntur. Biasa. Cat kiloan. Terang. Keterangan.
Suara jangkrik dari sawah di sebelah ruangan mendengung keras, menyemaraki nafsu mengajarku.
"Nah, Sayur Seledri." Aku menumpukan tangan kananku di atas tangan kiriku. "Aku akan mengajar kamu selama enam bulan."
"Apa selama enam bulan, aku hanya akan menghadiri pelajaranmu, dan bolos bersekolah?" Pertanyaannya pertanyaan bagus. Tentu saja iya. Kaizo pasti tidak keberatan. Dan aku pun yakin, belajar denganku akan jauh lebih berharga ketimbang menumpang tidur di bangku sekolahnya, seperti rutinitas kesehariannya selama mengisi jam kosong. Aku tahu murid modelan begini. Mereka enggak betul sekolahnya.
"Ya." Aku mengangguk.
Duri semakin cemberut. Berondong Seledri itu tidak suka matematika, tapi malah dihadapkan pada program kematematikaan, guru matematika, dan matematika itu sendiri setiap hari. Kasihan. Aku memandangnya prihatin. Kalau aku jadi Duri, besoknya aku akan merencanakan gantung diri, tapi enggak jadi, soalnya aku ingat dosa.
"Aku benci matematika." Duri mengaku. Dia mulai ekspresif dari waktu ke waktu. Anak ini sejujurnya manis, dia memperlihatkan kondisi sentimennya apa adanya, egonya tipis. Dia lugu, herbivora, dan bersikap menyenangkan pada semua orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Duri x Reader | Smart One
Fiksi PenggemarDalam letusan kemarahan sebesar ledakan Krakatau, aku berteriak nyaring, sampai suaraku memekik dan serak, "Carikan aku anak paling bodoh di Malaysia, akan aku buat dia menjuarai olimpiade matematika nasional melawan anak kuliahan!"
