Selain mengerjakan soal matematika, aku menemukan kesenangan baru lain; menggoda si berondong hijau sampai dia epilepsi.
Berondong satu ini gampang meleleh. Pengalaman cintanya nihil. Dia polos, dia tidak tahu apa-apa, di belum lulus SMA, mengenjutkanya dia kaya, dia berpipi gemuk, dan entah kenapa, dia malah mengakui perasaannya padaku. Mula-mula, aku syok. Tapi lama kelamaan, aku menjumpai hobi baruku di dalam kerumitan-kerumitan hidup.
Semenjak aku mengiklankan diriku sendiri kepada seseorang yang dipanggilnya 'Ibu Ayuyu', Si Arugula Hijau tidak berhenti menghindari tatapanku. Dia malu.
"Ayah menjual hasil perkebunan juga ..." Si Arugula Hijau menjelaskan.
Tur kami berlanjut ke arah ladang yang diolah di dekat daerah persemaian pinus. Dari atas sini, aku melihat lanskap terasering yang dijejali oleh macam-macam tanaman. Beberapa ruas tanah ditancapkan kayu seperti kerucut, sehingga tumbuhannya dapat merambat ke setiap bentangan kayunya, sedangkan sisanya dibiarkan tumbuh tanpa kerangka media tanam tambahan.
Sebuah ruas tanah di birai tertinggi terlihat dipenuhi tanaman ivy bergelombang. Daunnya tipis dan kecil-kecil. Sistem perakarannya menyebar ke samping dan dangkal. Bunganya kuning, dan kelopaknya ada lima. Aku berjongkok di tepi ruas tanahnya, mencoba menyentuh bunganya.
Aku sebetulnya takut harganya juga mahal. Siapa tahu ratusan juta, atau bahkan miliaran, namun karena kami telah menjauh dari lokakarya bonsai dan lahan peraga tanaman hias, aku agak tenang.
"Bunga semangka. Dia mekar begitu setelah enam puluh hari ditanam." Si Arugula Hijau memaparkan. "Mau makan semangka, Miss?"
Aku mengangguk. Arugula Hijau itu memang paham apa mauku. Aku setuju karena tampaknya, semangka-semangka di bumi harganya tak jauh berbeda. Maksudku, bukankah tidak ada semangka Melayu yang harganya menyerupai mobil? Semangka di sini merupakan semangka reguler. Seharfiahnya begitu. Kuharap semangkanya bukan semangka spektakuler, sejenis semangka Densuke dari ladang Hokkaido, Jepang Utara. Karena jika iya, maka bisa berabe.
Gara-gara aku hampir menyentuh bonsai seharga Vellfire Hybrid Premium Color, aku serba parno. Aku tidak tahu perkebunan di desa bisa memiliki aset sebagus itu. Jangan-jangan, ayahnya Si Arugula Hijau juga mengoleksi dan membudidayakan tanaman-tanaman seperti melon Yubari King, anggur Ruby Roman, mangga Taiyo no Tomago, strawberi Sembikiya atau apel Sekai Ichi di perkebunannya.
Si Arugula Hijau menginjakkan kakinya ke ladang. Tanahnya berkategori gembur, karena curah hujan di desa lumayan tinggi.
Setiap paginya, daerah dataran tinggi selalu diliputi kabut karena keadaan topografinya begitu mendukung. Hari ini pun begitu. Sembari memerhatikan Si Arugula mencari semangka yang matang, aku mengeratkan mantel bulu angsa di bahuku. Mantelnya nostalgik. Aku membelinya pada acara fashion The Shoppes di Marina Bay Sands, karena waktu itu, Singapura tengah dilanda musim gugur pada pertengahan Januari. Temperatur sangat membekukan. Aku kesana karena aku perlu mengakuisisi dan mengurus ijazah double degree dari program kampusku di kepengurusan 21 Lower Kent Ridge Rd selama hampir sebulanan lebih. Ya. Aku agak lama menginap di Kent Ridge. Mau bagaimana lagi, transkrip nilaiku databasenya sempat hilang; NUS-ID passwordku bermasalah, dan demikianlah ijazahku tertunda dikeluarkan.
Si Arugula Hijau mengetuk-ngetukkan kelima jarinya ke satu buah semangka. Kemudian, dahinya mengerut, dan dia berkata, "Yang ini belum matang."
"Bagaimana caramu mengetahuinya?" Tanyaku.
Si Arugula Hijau mendongak, "Ada beberapa cara."
Si Arugula Hijau mengetuk semangkanya tiga kali seperti menggedor pintu rumah tetangga, "Ketuk. Jika bunyinya begini, bunyinya keras, dan padat, artinya semangkanya mentah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Duri x Reader | Smart One
FanfictionDalam letusan kemarahan sebesar ledakan Krakatau, aku berteriak nyaring, sampai suaraku memekik dan serak, "Carikan aku anak paling bodoh di Malaysia, akan aku buat dia menjuarai olimpiade matematika nasional melawan anak kuliahan!"