- Epilog

725 104 66
                                    

"Ternak uangmu lancar, Menteri Pendidikan?"

Aku terkejut, dan sekaligus merasa bingung. Ada serangkaian kejadian yang terlalu cepat terjadi, sehingga aku belum bisa memprosesnya.

Setelah aku mengalahkan Solar, aku mendadak saja disuruh melaksanakan grand final saat ini juga—aku dibisik-bisik oleh kru studio, bahwa seharusnya aku bersyukur karena quarter final Group B dapat diselesaikan cepat, dan kami bisa memajukan jadwal grand finalnya. Soalnya Pak Perdana Menteri jadi bisa menonton.

Mulanya, grand final direncanakan akan digelar esok hari. Dan perdana menteri tidak bisa menonton, sebab dia harus pergi mengurusi diplomasi kenegaraan ke Laos. Perdana menteri dan beberapa kolega-koleganya hanya bisa menghadiri quater finalnya.

Peristiwa mati listrik barusan malah menyebabkan Group B selesai berbarengan dengan Group A, yang berdampak pada pemajuan babak grand final, dan akhirnya Pak Perdana Menteri dan kolega-koleganya bisa menontonku sampai tuntas. Tapi, datangnya peretas layar digital panggung merusak segalanya. Apa kebetulan-kebetulan tadi merupakan sebentuk ... mekanisme sistematis? Karena kata Miss (Nama), gedung besar pasti punya gardu listrik sendiri, dan genset pribadi di setiap blok. Jadi, tidak memungkinkan adanya keadaan mati listrik pada gedung-gedung di Kuala Kumpur, apalagi di zaman ini. Rasa-rasanya, mati listriknya aneh. Lagi pun, mati listriknya bersifat regional. Seluruh gedung tak mengalami pemadaman, dan lokasi matinya aliran listrik hanya ada pada studio penampung pertandingan quarter final Group A.

Aku membancangkan pandangan ke layar panggungnya lagi, di belakang mimbar.

Layar itu menampilkan tabel aset kekayaan dari nasabah bank bernama Kaizo. Secara berangsur, dikatakan disana, Pak Kaizo menyetorkan sejumlah uang cash berjumlah besar dari teller di Republik Filipina. Mengapa ada orang yang jauh-jauh pergi ke Republik Filipina untuk menggemukkan saldo tabungannya? Itu tak terdengar masuk akal.

"Pencucian uang di Filipina, penyalahgunaan fasilitas pendidikan, komersialisasi pendidikan, penerapan kurikulum bodoh yang sok-sokan meniru Finlandia dengan menghapuskan jam belajar full day, pengedaran buku paket yang isinya warna-warni, tapi materinya tidak sesuai dengan tumbuh kembang anak, tak saling berkesinambungan, ilustrasi gambarnya dibuat dari AI generator ..." Ice melanjutkan narasinya. Awalnya aku ragu, kepada siapa tuduhan itu ditujukan. Aku kecewa, bahwa orang sebaik Pak Kaizo bisa berbuat demikian. Mengenai inkompensinya, aku tidak bisa memprediksinya sama sekali, tapi karena buktinya ada, aku jadi merasa terrugikan.

Buktinya ada. Aku adalah produk dari ketidakmampuan menteri pendidikan untuk mengurus semua jobdesknya. Selama ini aku menterpojokkan diriku sendiri. Aku menganggap aku tak mampu menangkap materi, karena aku tak secerdas anak-anak lain. Namun guru yang tepat muncul, dan menyelamatkan aku dari jurang kebodohan. Aku rasa, ada banyak produk-produk lainnya dari betapa buruknya pendidikan dewasa ini.

Aku memegang kening, dan menyeka keringatku. Atmosfer di studio memanas, karena aku baru sadar, perdana menteri pun ada disini.

"Teman SMPku," Ice menyambung pidatonya. "Blaze. Dia punya medali emas prestasi skala nasional, yang dalam pelaksanaan lombanya pun, segalanya diatur oleh kementrian seni, teknologi, budaya, dan pendidikan. Sertifikat dan medali kelas nasional seharusnya bisa membawanya masuk ke SMA bagus, entah SMA berbasis sains, SMA berkurikulum IB, atau SMA reguler. Tapi, Labschool ..."

Aku melotot ketika nama Blaze dibawa-bawa dalam pidatonya Ice, dan dijadikan sampel atas kejahatan seseorang. Aku merasakan sebuah kebenaran, karena aku mengenali Blaze lebih dari siapapun—atau setidaknya, aku tahu betapa sedihnya Blaze saat sertifikat skala nasionalnya ditolak oleh Labschool, SMA sains dan teknologi yang regulasi kesiswaannya diatur langsung oleh kementrian pendidikan; Pak Kaizo.

Duri x Reader | Smart OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang