- 06 ♦️

885 153 115
                                        

Ini kali pertama aku meninggalkan kenyamanan rumah.

Aku jarang pergi kemana-mana, apalagi sampai berbulan-bulan. Spot terjauh yang aku kunjungi hanya desa sebelah, di bibir pantainya. Dua tahun lalu, Blaze mengajak aku ke sana, menumpang ke mobil bak pengangkut tebu. Selain berbatasan dengan laut, desa tetangga memiliki wisata ekologi berupa tiga ratusan hektar perkebunan bakau yang dibuat untuk menyuplai kilang pembuatan arang. Pemandangan pantai mereka komersil karena tebing karangnya indah dan megah. Sudah lama sekali aku tidak bepergian.

Aku tak berpikir, aku akan mencari kembali koper lamaku di gudang, dan memakainya. Itu bukan koperku, tapi kopernya ayah. Aku tidak dibelikan koper karena aku tidak membutuhkan koper.

Aku membersihkan kopernya dari debu, mengelapnya, dan mengemas barang-barangku. Aku membawa dua koper besar, aku mengemas pakaianku dan kebutuhan hidup dasar ke dalamnya. Aku enggak paham, kalau orang pergi-pergian itu, sebaiknya membawa apa saja selain baju. Aku hanya menyimpan setelan formal, pakaian kasual, sayuran segar hasil panen petaninya ayah, susu yang diperah langsung oleh salah satu asisten rumah tangga di rumahku—ya, katanya dia akan merindukan aku, dan berhubung dia juga pekerja di peternakannya ayah, dia menyuruh aku membawa kemasan susu itu—dan buku.

Miss (Nama) enggak suka mengajar dengan buku. Entah apa alasannya. Entah karena dia punya sentimen tersendiri pada kurikulum pemerintah, sebagaimana apa yang aku dengar dalam setiap omelan-omelannya, atau entah kecenderungan itu dilatarbelakangi oleh alasan khusus lain. Siapa tahu, Miss (Nama) alergi buku sebab dia tidak membutuhkannya, dia sudah pintar, dia tidak perlu memakai buku lagi, apalagi buku terbitan dinas pendidikan. Tapi aku tetap meletakkan sejumlah buku ke sekat kecil ke koperku, di sebelah perlengkapan mandi dan alat tulis kantor.

Bawa apalagi? Aku nggak tahu. Palingan, aku bakalan ingat saat nanti aku sudah duduk di kursi pesawat. Aku pelupa. Aku biasanya celaka belakangan. Meskipun aku sudah menyiapkan daftar tetang apa saja yang mesti dikemas, aku selalu ceroboh. Aku memang ceroboh, tapi setidaknya aku belajar dari kesalahan, buktinya aku tahu tujuh dikali tujuh sama dengan empat puluh sembilan.

Aku diantarkan orang dari dinas pendidikan, anak buahnya Pak Kaizo ke bandara di kota sebelah. Lama tempuhnya kira-kira satu jam lima belas menit, mempergunakan akses jalan tol. Selama melamun, karena aku bosan, aku menghitung berapa jarak tempuhnya. Jaraknya enggak jauh, sekitar lima puluh tiga kilometer saja. Aku sudah menghitungnya.

Karena tidak ada hambatan berupa kemacetan lalu lintas, aku sampai pukul delapan pagi.

Sebetulnya aku mau menghitung jarak antar desaku ke Kuala Lumpur juga. Tapi aku tidak bisa, karena aku tidak tahu seperti apa caranya menghitung percepatan laju pesawat. Jadi, aku tersiksa dalam kebosanan selama penerbangannya.

Beberapa saat kemudian, pesawatnya tiba di Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur, di negara bagian Selangor. Dan di sini, aku akan bertemu Miss (Nama).

Miss (Nama) sampai kemari lebih dulu karena dia perlu mengurus ini dan itu, padahal dua hari sebelumnya, Miss (Nama) bilang kami dirancangkan berangkat bersama-sama, soalnya Pak Kaizo meminta kehadiran kami enam bulan lebih cepat dari jadwal olimpiade matematikanya. Tapi karena ada kendala, dan Miss (Nama) tidak mau rencana besarnya hancur, Miss (Nama) menunda kedatanganku.

Aku mengedarkan pandang. Aku dikelilingi keramaian publik. Speaker dari departemen Lost and Found meneriakkan nomor seri sebuah ponsel yang ditinggalkan pemiliknya di masjid, meminta pemiliknya segera melapor ke pihak maskapai. Segerombolan orang mengerumuni layar informasi conveyor belt untuk melihat nomor penerbangan mereka. Mereka semua sibuk. Ada pun barisan antrian di kasir salah satu food court bertemakan vegan.

Duri x Reader | Smart OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang