- 17 ♠️

300 59 91
                                    

Enam bulan telah terlewati.

Turnamen matematikanya, resmi dimulai.

Turnamen matematika itu bermula dari ketidaksengajaan yang konyol, dimana aku berteriak di depan muka Vargoba, aku menyatakan kemauanku untuk mengajar anak terbodoh di Malaysia sampai dia menjuarai olimpiade nasional.

Turnamennya dibuat semeriah pekan raya olahraga. Turnamennya dihadiri oleh banyaknya pihak yang entah kenapa tiba-tiba ikut campur. Seorang influencer berciri khas tukang memecahkan soal matematika turut andil dalam pelaksanaannya, dia datang dengan Tiktoker edukatif lainnya. Mereka tiba di venue, turun dari mobil-mobil mewah, dan dipotret oleh paparazzi.

Turnamennya dibuka bak MPL ASEAN. Mereka menyediakan studio shooting sinetron untuk lokasi live streamingnya. Laksana met gala dalam pimpinan redaksi Vogue, para tamu, termasuk tamu dari kementrian pendidikan, tamu berupa jajaran artis media sosial di berbagai platform, tamu pemerintah, tamu perwakilannya perdana menteri yang berhalangan datang, sanak saudara kelimapuluh kontestan utama, dan beberapa juri masuk ke studio mengenakan pakaian bagus, mereka berlenggak-lenggok di atas karpet beludru warna merah, sebelum dihujani puluhan jepretan kamera pers.

Busana mereka heboh-heboh karena tamunya didominasi oleh influencer. Kebanyakan dari mereka memakai setelan formal, tapi blink-blink, spektakuler, dan uring-uringan. Aku bahkan melihat salah satu produk desainer terkenal asal Kebayoran Baru dipakai oleh selebriti pecinta sains yang dalam channel Youtube-nya, biasanya dia mengunggah video daily life selama dia berkuliah di Oxford.

Sedangkan kelima puluh kontestan utama datang belakangan. Mereka berjejer dalam satu baris seperti ular, dengan jarak perorangnya sekitar satu meter. Mereka diurutkan dari ranking yang paling kecil, hingga pada sang pucuk klasemen, Solar, mahasiswa Harvard jurusan astronomi.

Muka pertama yang aku lihat ialah Ice. Ice berada di paling depan, karena secara teknis, dialah ranking terakhirnya. Mukanya santai, tentram, dan biasa-biasa saja. Dia tidak gugup, dan tidak pula takut. Padahal dia jelas tahu, menjadi ranking terakhir dalam klasemen bukanlah hal baik.

Sewaktu-waktu dia tereliminasi, maka habislah sudah.

Ice bahkan lebih percaya diri ketimbang kontestan-kontestan di belakang punggungnya.

Mendadak, masih di atas karpet beludru, Ice dihentikan wartawan yang menyerobot masuk dari barrier karet, dia ditodong oleh mikrofon potabel dengan logo stasiun televisi milik pemerintah. Wartawan itu lekas menodong Ice selagi dia sempat bertanya, sebelum petugas sekuriti menyeretnya keluar dari lintasan karpet beludru.

"Halo, Ice." Kata si wartawan berambut dipomed. Dia juga diekori oleh pria pemegang kamera DSLR dengan moncong menyembul ke depan. "Apa perasaanmu sekarang ini? Apa kamu tidak takut kamu akan teremilimasi duluan?"

"Tidak ada seorang pun dari Top Fifty yang akan teremilinasi. Bila kami kalah, kami akan turun ke lower bracket." Kata Ice, tanpa ekspresi.

Lower bracket. Aku hampir lupa menyebutkannya. Dalam peraturan mainnya, ada segelintir hal yang perlu aku pelajari untuk kumanfaatkan nantinya.

Aku memegang barrier karet yang memisahkan antara lintasan karpet merah dan tumpukan penonton di samping kanan dan kirinya.

Kaizo merekrut seribu muda-mudi Malaysia, kemudian memperingkatkan mereka berdasar hasil ujian seleksi, yang didapatkan hasil, Solar merupakan peringkat pertama, Halilintar peringkat kedua, Gempa peringkat ketiga, dan seterusnya begitu, sampai pada Ice, peringkat lima puluh. Tapi Kaizo tidak memulangkan peringkat lima puluh satu hingga peringkat seratus—mereka tetap mengikuti serangkaian turnamen matematikanya, mereka juga akan ikut, tapi di stage bernama lower bracket.

Duri x Reader | Smart OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang